Sekolah Kita: Pusat Pendidikan
Tawuran?
Khairil Azhar
Jika suatu hari, untuk
keperluan apa saja, Anda datang ke sekolah di mana anak Anda belajar, cobalah
agak lama berada di pos keamanannya. Atau, kalau ingin tahu lebih jauh, bisa
“nongkrong” di kantin sekolah atau warung di sekitarnya. Boleh juga, masuklah
ke kamar kecil dan amati suasana dan apa
yang terjadi di sana.
Bagi Anda yang
pernah ke luar negeri atau bersekolah di sana, banyak hal, jika punya sedikit concern saja, yang mestinya bikin kita
geleng-geleng kepala. Kamar kecil sekolah, umpamanya, termasuk banyak sekolah
negeri yang populer di Jakarta, tak lebih baik dari toilet di terminal
Rawamangun apalagi di stasiun pengisian bahan bakar.
Di pos keamanan,
kantin sekolah, atau warung sekitarnya, Anda akan mudah menemui guru-guru yang
seenaknya merokok, bercanda dengan bahasa yang tak patut, menggoda siswa putri dan
sebagainya. Anehnya, para guru ini, bagi para siswa terutama, akan dilabeli
sebagai guru gaul dan seringkali menjadi guru favorit. Terkait soal favoritisme
ini, guru olahraga, musik, atau keterampilan lainnya memiliki peluang nomor
satu. Termasuk, dari segi peluang ekonomi, mereka bisa berpendapatan lebih dari
kegiatan ekstra-kurikuler dan lainnya.
Namun, lebih aneh
lagi, sekolah-sekolah tertentu, terutama dengan label tertentu seperti SBI,
RSBI, atau Sekolah Negeri, tetap menjadi pilihan banyak orang tua, termasuk
yang well-educated dan memiliki latar
belakang ekonomi yang bagus. Padahal, umpamanya, jika dilihat sejarahnya,
sekolah-sekolah ini memiliki pengalaman kekerasan yang berulang dan seperti
tidak teratasi.
Cobalah, jika Anda serius, dengan menggunakan mesin
pencari Google, ketik “tawuran, sekolah, Jakarta”. Puluhan kasus dan sekolah
dengan tradisi kekerasan di Jakarta akan muncul. Dan jangan kaget juga bahwa
sekolah-sekolah negeri favorit, terutama SMP dan SMA akan muncul. Terlebih
lagi, Anda harus siap jika sekolah di mana putra-putri belajar ternyata muncul
di sana.
Lalu kenapa kekerasan di sekolah tetap saja terjadi?
Bukankah, seperti di wilayah makmur seperti Jakarta, anggaran pendidikan
daerahnya bisa berpuluh kali lipat dibanding daerah-daerah berpendapatan rendah
di Indonesia, sehingga dengan anggaran itu
bisa diasumsikan kalau perekrutan guru, manajemen sekolah, pengembangan
SDM dan sebagainya akan lebih bagus?
Bukankah Jakarta merupakan pusat di mana orang-orang
berpendidikan terbaik dimungkinkan berada dan oleh karenanya juga mereka yang
memiliki kualifikasi kependidikan terbaik?
Dalam salah satu sesi break pelatihan guru, seorang teman setengah bercanda bercerita. Di
Jakarta, katanya, seorang kepala sekolah SMP mesti paling kurang memiliki dua
hal. Pertama, dia harus naik haji,
bagaimanapun caranya. Huruf “H.” di depan nama atau setelah titel “Drs.” wajib
ada karena itu terkait dengan penerimaan keberadaan sang kepala sekolah di
lingkungan sejawatnya, suatu status untuk sosiabilitas.
Kedua, dia
harus memiliki mobil yang sepadan. Di tahun 2009, ketika saya bercanda dengan
kolega tersebut, standarnya adalah Toyota
Rush. Dan memang, dalam pengalaman “berkeliling” menjadi pengawas ujian
nasional, lebih dari lima kepala sekolah yang saya temukan menggunakan jenis
mobil ini.
Selain kedua “standar” ini, soal kualitas dan
kuantitas rumah tentu saja menyesuaikan.
Yang membuat kita tak habis pikir, tentu saja, dari
mana dan bagaimana seorang kepala sekolah harus menyesuaikan gaya dan pola
hidup mereka dengan terkait pendapatan mereka yang sebenarnya tidak besar.
Korupsi? Tuhan Yang Maha Tahu.
Tetapi, yang jelas, tuntutan untuk mendapatkan pendapatan
sampingan, yang oleh sebagian mereka disebut “usaha mengembalikan modal” tentu
akan menggerus pikiran dan kinerja dalam kapasitas sebagai pendidik dan
pengelola pusat pendidikan.
Dan wawasan dan sikap ini sudah pasti diturunkan juga
ke tingkat guru dan karyawan lain.
Tetapi bagaimana kita membuktikannya?
Seperti disarankan di awal, mari kita dengarkan
percakapan para guru dan karyawan sekolah di kantin atau pos keamanan.
Jangan kaget, misalnya, jika salah seorang dari mereka
berkata, “Alhamdulillah, sekarang sudah jadi diangkat pegawai negeri. Juga
sudah ada pendapatan sampingan dari memberi les privat. Masa sulit (bekerja
keras sebagai guru honorer) sudah lewat.”
Seorang teman guru yang sudah diangkat jadi pegawai
negeri biasa sampai di sekolah pukul setengah tujuh, tepat ketika pembelajaran
dimulai, dan sudah ada lagi di rumah pukul sepuluh atau sebelas siang. Dia akan
kembali lagi ke sekolah pada saat harus absen kepulangan. Lalu siapa yang
mengajar di kelasnya? Guru honorer, guru PPL, atau dititipkan ke kolega yang
lain. Yang penting TST, Tahu Sama Tahu!
Dengan kinerja seperti ini, bagaimana anak-anak kita
bisa dididik karakternya?
Salah satu pilihannya adalah “pendidikan menggunakan
kekerasan” yang diadaptasi dari pola militer lama. Di setiap sekolah ada
kegiatan yang disebut Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera), MOS (Masa Orientasi
Siswa), dan sebagainya. Belum lagi, di hampir setiap sekolah dengan mudah
ditemukan geng-geng siswa yang militan dalam kaderisasi dan penanaman nilai geng-nya.
Kegiatan-kegiatan ini, di atas kertas, disebut sebagai
pendidikan kedisiplinan. Tetapi dalam praktiknya, ini merupakan cara
mendisiplinkan siswa dalam pola senior-junior,
pendidikan berbasis punishment dan
bagaimanapun juga meringankan pekerjaan para guru. Di sini, dimana keterlibatan
guru menjadi minimal (terutama karena alasan sibuk), memungkinkan terjadinya
proses pewarisan kekerasan dari generasi ke generasi. Sedangkan guru atau
kepala sekolah akan benar-benar sibuk hanya jika ada kasus yang sampai ke
publik.
Meski demikian, banyak juga guru, yang entah bagaimana
caranya, memiliki komitmen yang bagus. Sayangnya, nasib mereka sering bagai
layangan tak bertali, mati gaya di tengah derasnya sikap permisif dan selfishness pejabat dan praktisi
pendidikan. Padahal, jika boleh berharap, di pundak merekalah kita bisa
percayakan bahwa sekolah-sekolah kita bukanlah “pusat pendidikan tawuran”.