Wednesday, June 20, 2012

Sekolah Kita: Pusat Pendidikan Tawuran?
Khairil Azhar

         Jika suatu hari, untuk keperluan apa saja, Anda datang ke sekolah di mana anak Anda belajar, cobalah agak lama berada di pos keamanannya. Atau, kalau ingin tahu lebih jauh, bisa “nongkrong” di kantin sekolah atau warung di sekitarnya. Boleh juga, masuklah ke kamar kecil  dan amati suasana dan apa yang terjadi di sana.
         Bagi Anda yang pernah ke luar negeri atau bersekolah di sana, banyak hal, jika punya sedikit concern saja, yang mestinya bikin kita geleng-geleng kepala. Kamar kecil sekolah, umpamanya, termasuk banyak sekolah negeri yang populer di Jakarta, tak lebih baik dari toilet di terminal Rawamangun apalagi di stasiun pengisian bahan bakar.
         Di pos keamanan, kantin sekolah, atau warung sekitarnya, Anda akan mudah menemui guru-guru yang seenaknya merokok, bercanda dengan bahasa yang tak patut, menggoda siswa putri dan sebagainya. Anehnya, para guru ini, bagi para siswa terutama, akan dilabeli sebagai guru gaul dan seringkali menjadi guru favorit. Terkait soal favoritisme ini, guru olahraga, musik, atau keterampilan lainnya memiliki peluang nomor satu. Termasuk, dari segi peluang ekonomi, mereka bisa berpendapatan lebih dari kegiatan ekstra-kurikuler dan lainnya.
         Namun, lebih aneh lagi, sekolah-sekolah tertentu, terutama dengan label tertentu seperti SBI, RSBI, atau Sekolah Negeri, tetap menjadi pilihan banyak orang tua, termasuk yang well-educated dan memiliki latar belakang ekonomi yang bagus. Padahal, umpamanya, jika dilihat sejarahnya, sekolah-sekolah ini memiliki pengalaman kekerasan yang berulang dan seperti tidak teratasi.
Cobalah, jika Anda serius, dengan menggunakan mesin pencari Google, ketik “tawuran, sekolah, Jakarta”. Puluhan kasus dan sekolah dengan tradisi kekerasan di Jakarta akan muncul. Dan jangan kaget juga bahwa sekolah-sekolah negeri favorit, terutama SMP dan SMA akan muncul. Terlebih lagi, Anda harus siap jika sekolah di mana putra-putri belajar ternyata muncul di sana.
Lalu kenapa kekerasan di sekolah tetap saja terjadi? Bukankah, seperti di wilayah makmur seperti Jakarta, anggaran pendidikan daerahnya bisa berpuluh kali lipat dibanding daerah-daerah berpendapatan rendah di Indonesia, sehingga dengan anggaran itu  bisa diasumsikan kalau perekrutan guru, manajemen sekolah, pengembangan SDM dan sebagainya akan lebih bagus?
Bukankah Jakarta merupakan pusat di mana orang-orang berpendidikan terbaik dimungkinkan berada dan oleh karenanya juga mereka yang memiliki kualifikasi kependidikan terbaik?
Dalam salah satu sesi break pelatihan guru, seorang teman setengah bercanda bercerita. Di Jakarta, katanya, seorang kepala sekolah SMP mesti paling kurang memiliki dua hal. Pertama, dia harus naik haji, bagaimanapun caranya. Huruf “H.” di depan nama atau setelah titel “Drs.” wajib ada karena itu terkait dengan penerimaan keberadaan sang kepala sekolah di lingkungan sejawatnya, suatu status untuk sosiabilitas.
Kedua, dia harus memiliki mobil yang sepadan. Di tahun 2009, ketika saya bercanda dengan kolega tersebut, standarnya adalah Toyota Rush. Dan memang, dalam pengalaman “berkeliling” menjadi pengawas ujian nasional, lebih dari lima kepala sekolah yang saya temukan menggunakan jenis mobil ini.
Selain kedua “standar” ini, soal kualitas dan kuantitas rumah tentu saja menyesuaikan.
Yang membuat kita tak habis pikir, tentu saja, dari mana dan bagaimana seorang kepala sekolah harus menyesuaikan gaya dan pola hidup mereka dengan terkait pendapatan mereka yang sebenarnya tidak besar. Korupsi? Tuhan Yang Maha Tahu.
Tetapi, yang jelas, tuntutan untuk mendapatkan pendapatan sampingan, yang oleh sebagian mereka disebut “usaha mengembalikan modal” tentu akan menggerus pikiran dan kinerja dalam kapasitas sebagai pendidik dan pengelola pusat pendidikan.
Dan wawasan dan sikap ini sudah pasti diturunkan juga ke tingkat guru dan karyawan lain.
Tetapi bagaimana kita membuktikannya?
Seperti disarankan di awal, mari kita dengarkan percakapan para guru dan karyawan sekolah di kantin atau pos keamanan.
Jangan kaget, misalnya, jika salah seorang dari mereka berkata, “Alhamdulillah, sekarang sudah jadi diangkat pegawai negeri. Juga sudah ada pendapatan sampingan dari memberi les privat. Masa sulit (bekerja keras sebagai guru honorer) sudah lewat.”
Seorang teman guru yang sudah diangkat jadi pegawai negeri biasa sampai di sekolah pukul setengah tujuh, tepat ketika pembelajaran dimulai, dan sudah ada lagi di rumah pukul sepuluh atau sebelas siang. Dia akan kembali lagi ke sekolah pada saat harus absen kepulangan. Lalu siapa yang mengajar di kelasnya? Guru honorer, guru PPL, atau dititipkan ke kolega yang lain. Yang penting TST, Tahu Sama Tahu!
Dengan kinerja seperti ini, bagaimana anak-anak kita bisa dididik karakternya?
Salah satu pilihannya adalah “pendidikan menggunakan kekerasan” yang diadaptasi dari pola militer lama. Di setiap sekolah ada kegiatan yang disebut Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera), MOS (Masa Orientasi Siswa), dan sebagainya. Belum lagi, di hampir setiap sekolah dengan mudah ditemukan geng-geng siswa yang militan dalam kaderisasi dan penanaman nilai geng-nya.
Kegiatan-kegiatan ini, di atas kertas, disebut sebagai pendidikan kedisiplinan. Tetapi dalam praktiknya, ini merupakan cara mendisiplinkan siswa dalam pola senior-junior, pendidikan berbasis punishment dan bagaimanapun juga meringankan pekerjaan para guru. Di sini, dimana keterlibatan guru menjadi minimal (terutama karena alasan sibuk), memungkinkan terjadinya proses pewarisan kekerasan dari generasi ke generasi. Sedangkan guru atau kepala sekolah akan benar-benar sibuk hanya jika ada kasus yang sampai ke publik.
Meski demikian, banyak juga guru, yang entah bagaimana caranya, memiliki komitmen yang bagus. Sayangnya, nasib mereka sering bagai layangan tak bertali, mati gaya di tengah derasnya sikap permisif dan selfishness pejabat dan praktisi pendidikan. Padahal, jika boleh berharap, di pundak merekalah kita bisa percayakan bahwa sekolah-sekolah kita bukanlah “pusat pendidikan tawuran”.


No comments:

Post a Comment