Tuesday, June 19, 2012


Konsekuensi Inovasi

Oleh: Khairil Azhar

Pengantar
                Kenapa inovasi diperlukan? Jika “Ya”, inovasi seperti apa? Apakah kata “inovasi”, yang berarti “kebaruan” atau “upaya untuk memperbarui”, benar-benar digdaya seperti kedengarannya dan dahsyat seperti popularitasnya karena teramat sering dipakai mulai dari guru Taman Kanak-kanak sampai menteri, pengusaha atau politisi?
Jika inovasi diandaikan sebagai suatu prasyarat bagi kebaikan atau perbaikan dalam satu sistem sosial, apakah ada jaminan akan demikian adanya? Bukankah memperbarui berarti juga “merombak”, “mengganti”, “mengubah”, “membuang”, atau bahkan “menghancurkan” yang lama dan “mengenalkan” dan “menge-paskan” yang baru di tempat sesuatu yang lama tersebut? Tidakkah itu berarti akan ada yang “dikorbankan”, “konflik”, pergesekan dan pergeseran yang tak mungkinkan diterima atau mengenakkan semua orang dan semua pihak?
Tetapi, terlepas dari semua pertanyaan negatif di atas, inovasi juga merupakan kemestian, suatu konsekuensi dari perubahan alam yang terus menerus, perubahan struktur sosial, demografi perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagainya. Tidaklah mungkin, sebagai contoh, jika suatu kelompok sosial tidak berinteraksi sama sekali dengan kelompok sosial lainnya, tidak mengadopsi hal-hal yang memudahkan mereka dalam beraktifitas, atau sama sekali tertutup dari dunia luar.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana inovasi mesti mencapai dynamic equilibrium, bahwa satu sistem sosial mencapai manfaat sebesar-besarnya dari suatu inovasi dan oleh karena itu bukan disequilibrium, suatu kondisi dimana inovasi justru menciptakan ketidakseimbangan, konflik, problem sosial dan sebagainya (Rogers, 2003, hal. 452-453).
Oleh karena itu, amat penting untuk melihat apa saja kemungkinan konsekuensi dari inovasi, baik dan buruk, terantisipasi atau tidak, dan sebagainya.

Konsekuensi Inovasi
                Konsekuensi inovasi merupakan berbagai perubahan yang terjadi pada individu atau suatu sistem sosial sebagai hasil atau dampak dari adopsi atau penolakan terhadap suatu inovasi (Rogers, hal. 436). Bagi inovator atau pengadopsi inovasi, perubahan yang diasumsikan atau diinginkan tentu saja perubahan yang positif, bahwa inovasi adalah bagi kemaslahatan individu atau sistem sosial.
                Namun demikian, dalam banyak kasus difusi inovasi, konsekuensi inovasi ternyata tidak terprediksi, bahwa innovator, change agents,  opinion leaders, atau pengadopsi cenderung untuk menganut apa yang disebut sebagai pro-innovation bias, terlalu mengedepankan dampak positif inovasi dan kurang memperhatikan sisi negatifnya. Padahal, menurut Rogers, mereka semestinya dan harus mampu memprediksi kemanfaatan sekaligus kerugian dari suatu inovasi sebelum mengenalkan atau mengadopsinya.
                Dalam studi tentang inovasi, masalah konsekuensi merupakan hal yang paling sedikit dikaji, terutama karena adanya pro-innovation bias, kekurangan atau ketiadaan metodologi yang tepat, dan sulitnya untuk mengukur konsekuensi inovasi seperti karena adanya cultural relativism, bahwa suatu kultur bersifat spesifik dan tidak bisa disamaratakan dengan kultur lainnya (Rogers, hal. 440-442).
               
Klasifikasi Konsekuensi
                Keberadaan suatu Inovasi pada dasarnya tidak hanya berkonsekuensi pada pengadopsi (adopters) saja, tetapi juga pada mereka yang menolaknya (rejecters). Sebagai contoh, dengan adanya inovasi ekonomi dalam suatu sistem sosial, keberhasilan para pengadopsi dalam memperoleh penghasilan yang lebih besar akan mempengaruhi (berkonsekuensi) pada mereka yang menolaknya, seperti dengan adanya pergeseran gap sosio-ekonomi.
Secara ringkas, konsekuensi inovasi  dikategorikan ke dalam: (1) kosekuensi yang diharapkan (desirable) versus konsekuensi yang tidak diharapkan (undesirable); (2) konsekuensi langsung (direct) versus konsekeunsi yang tidak langsung (undirect); dan (3) konsekuensi yang terantisipasi (anticipated) versus konsekuensi yang tidak terantisipasi (unanticipated).
Desirable consequences merupakan efek-efek yang fungsional yang diharapkan terjadi dengan adanya suatu inovasi pada individu atau sistem sosial. Sedangkan undesirable consequences sebaliknya merupakan efek-efek disfungsional yang terjadi karena adanya inovasi pada individu atau sistem sosial. Untuk mengetahui apakah inovasi melahirkan efek fungsional atau disfungsional maka harus dilihat bagaimana inovasi tersebut mempengaruhi para pengadopsinya.
Terkait dengan klasifikasi konsekuensi, Rogers (hal. 445) menyimpulkan bahwa berbagai efek yang diakibatkan oleh adanya inovasi bagaimanapun juga tidak bisa sepenuhnya di-manage, bahwa konsekuensi inovasi tidak bisa sepenuhnya dipilah-pilah seperti dengan memastikan hanya ada konsekuensi yang diharapkan tanpa adanya konsekuensi yang tidak diharapkan.
Direct consequences adalah berbagai perubahan pada individu atau sistem sosial yang terjadi secara langsung karena mengadopsi suatu inovasi. Sedang indirect consequences adalah berbagai perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi dari adanya konsekuensi langsung. Sebagai contoh adalah inovasi kebijakan pendidikan di Indonesia yang berkonsekuensi pada pertumbuhan jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang sangat cepat, terutama di kota-kota besar (konsekuensi langsung). Akan tetapi, hal ini menyebabkan konsekuensi berikutnya bahwa Indonesia saat ini juga dikelompokkan sebagai salah satu negara “produsen” ijazah, bahwa banyak lembaga pendidikan lebih berfungsi sebagai penjual ijazah ketimbang fungsi utamanya untuk menghasilkan lulusan yang qualified. Konsekuensinya lagi, banyak sarjana yang “berijazah’, tetapi tidak memiliki skills yang sesuai dengan apa yang tertera pada ijazahnya dan oleh karena itu menganggur.
 Konsekuensi inovasi juga diklasifikasikan ke dalam anticipated versus unanticipated. Konsekuensi yang terantisipasi (atau diantisipasi) adalah berbagai perubahan yang memang disengaja supaya terjadi dan diakui oleh anggota suatu sistem sosial. Sedangkan berbagai perubahan yang tidak disengaja atau tidak diakui (diterima) oleh suatu sistem sosial disebut sebagai unanticipated consequences.
Pengadaan buku teks di sekolah-sekolah dimaksudkan supaya proses pembelajaran bisa berjalan lebih lancar dan siswa bisa belajar lebih mandiri tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah. Hal ini, seperti bagi pihak sekolah dan orang tua murid, merupakan sesuatu yang disengaja dan diakui. Akan tetapi, keberadaan buku teks, dalam banyak kasus di sekolah, membuat guru, murid, atau orang tua menjadi sangat tergantung dalam penggunaannya sehingga cenderung mengabaikan sumber-sumber pembelajaran lainnya. Konsekuensi laten lain yang sulit diantisipasi adalah bahwa pengadaan buku teks sangat berpotensi menjadi bisnis tersendiri bagi pihak sekolah bekerjasama dengan penerbit yang bisa jadi mengabaikan nilai-nilai etis profesionalisme dan kualitas pendidikan sendiri.
                Sebagai penutup pembahasannya tentang klasifikasi konsekuensi inovasi, Rogers menyimpulkan bahwa konsekuensi yang undesirable, indirect, dan unanticipated dari suatu inovasi biasa terjadi secara bersamaan sebagaimana halnya dengan konsekuensi yang desirable, direct dan anticipated”(hal.449).

Bentuk, Fungsi dan Makna Inovasi
                Terkait dengan antisipasi dari konsekuensi inovasi, terdapat tiga unsur intrinsik yang menentukan keberhasilan suatu inovasi, yakni:
1.       Bentuk (form) dari inovasi, yakni tampilan dan substansi fisik yang langsung bisa dikenali dari suatu inovasi. Dalam dunia pendidikan, penggunaan software pembelajaran memiliki form yang mirip dengan buku, Lembar Kerja Siswa dan lainnya.
2.       Kegunaan (function) dari inovasi, yaitu kontribusi yang diberikan oleh suatu inovasi terhadap cara hidup  (the way of life) atau bagaimana aktivitas dalam suatu sistem sosial dijalankan. Software pembelajaran bisa digunakan dalam mengajar dan bisa jadi membuat siswa lebih tertarik dan oleh karena itu mendatangkan hasil lebih baik.
3.       Makna (meaning) dari inovasi, yakni persepsi subyektif dan seringkali tidak sadar oleh anggota sistem sosial terkait dengan suatu inovasi. Dalam difusi inovasi, aspek makna ini merupakan hal yang paling sulit untuk disentuh atau dipastikan bisa diantisipasi. Dalam kasus inovasi penggunaan kapak besi pada suku Yir Yoront, kegagalan mengantisipasi perubahan makna sosial  “kapak batu” ketika warga mengadopsi “kapak besi” menyebabkan masalah sosial seperti kemalasan, prostitusi dan keretakan hubungan antar warga.
Rogers kemudian menyimpulkan bahwa “change agents lebih mudah mengantisipasi bentuk dan fungsi inovasi bagi anggota sistem sosial ketimbang dalam mengantisipasi perubahan maknanya (hal. 451).”

Mencapai Ekuilibrium Dinamis
Terkait dengan keseimbangan suatu sistem sosial ketika inovasi akan dan sudah diadopsi dapat diklasifikasikan tiga jenis ekuilibrium:
1.       Stable equilibrium, yakni ketika hampir sama sekali tidak ada perubahan dalam struktur atau fungsi suatu sistem sosial. Dalam hal ini, keseimbangan struktural maupun fungsional ketika inovasi diadopsi hampir sama dengan sebelum diadopsi. Ekuilibrium ini umpamanya ditemukan ketika inovasi dilakukan dengan sangat lambat, dengan tingkat massiveness yang rendah atau tidak terjadi sama sekali.
2.       Dynamic equilibrium, yakni ketika kecepatan atau kadar difusi dan adopsi inovasi melahirkan perubahan yang seimbang secara struktural dan fungsional atau seiring dengan kemampuan suatu sistem sosial untuk beradaptasi. Ekuilibrium dinamis ini, oleh karena itu, merupakan hal yang menjadi patokan bagi change agents dalam melakukan difusi inovasi.
3.       Disequilibrium, bahwa inovasi menyebabkan perubahan yang terlalu cepat sehingga sistem sosial tidak mampu menyesuaikan diri baik secara struktural maupun fungsional (beradaptasi). Dalam hal ini, inovasi bisa melahirkan disorganisasi sosial dan pada gilirannya lebih menyulitkan terjadinya perubahan sosial.

Konsekuensi Inovasi dan Masalah Ekualitas
               Ketika suatu sistem sosial mengadopsi inovasi, akan terdapat kemungkinan terjadinya peningkatan ekualitas atau sebaliknya jutsru mempertajam inekualitas. Bagi para innovator atau early adopters, seperti dalam inovasi yang terkait dengan ekonomi, besar kemungkinan mereka akan mendapatkan windfall profit, keuntungan yang sangat besar sehingga mengubah proporsi yang sudah ada. Bisa jadi, kelompok sosial yang kaya akan menjadi semakin kaya, ketika kelompok yang miskin menjadi semakin miskin.
                Rogers oleh karena itu menyimpulkan bahwa konsekuensi dari difusi inovasi biasanya semakin melebarkan jarak sosio-skonomi antara pengadopsi awal dan yang belakangan dalam suatu sistem sosial (hal. 460).
Terkait dengan komunikasi dalam difusi inovasi, Rogers menyimpulkan bahwa jarak sosio-ekonomi di antara berbagai audience segment juga akan melebar seiring dengan tinggi-rendahnyastatus sosio-ekonomi mereka (hal. 461).
Seiring dengan kedua kesimpulan ini, Rogers menyatakan bahwa struktur sosial dalam taraf tertentu menentukan tingkat perubahan ekualitas atau inekualitas dalam suatu sistem sosial sebagai konsekuensi dari inovasi (hal. 463).
Sehubungan dengan upaya mencegah atau mengurangi inekualitas, Rogers berkesimpulan bahwa change agents atau change agencies bisa saja melakukan berbagai upaya khusus untuk mengurangi dampak dari jarak sosio-ekonomi antara kelompok bawah dan kelompok atas dalam difusi inovasi (hal. 467). Saran-saran yang diberikan oleh Rogers bisa diringkas sebagai berikut:
1.       Kelompok atas memiliki akses terhadap informasi dan kesadaran akan inovasi yang lebih ketimbang kelompok bawah. Oleh karena itu, change agents harus berusaha memfasilitasi kelompok bawah supaya memperoleh akses informasi dan kesadaran inovasi.
2.       Kelompok atas memiliki akses terhadap informasi mengenai evaluasi inovasi ketika kelompok bawah kurang atau tidak sama sekali. Change agents harus berusaha memfasilitasi akses bagi kelompok bawah seperti dengan memanfaatkan opinion leaders di kalangan mereka, bantuan dari aides, atau pengorganisasian.
3.       Kelompok atas memiliki sumber daya (modal) yang lebih ketimbang kelompok bawah untuk mengadopsi inovasi. Change agents, oleh karena itu, mesti berusaha memfasilitasi supaya adopsi inovasi tidak mahal seperti dengan masifikasi, bantuan pihak lain, dan sebagainya.


Referensi
Rogers, Everet M. (2003) Diffusion of Innovation. New York: Free Press
Wibowo, Sigit (2011) Silabus Difusi dan Inovasi Pembelajaran. Jakarta: UIA

No comments:

Post a Comment