Konsekuensi Inovasi
Oleh: Khairil Azhar
Pengantar
Kenapa inovasi
diperlukan? Jika “Ya”, inovasi seperti apa? Apakah kata “inovasi”, yang berarti
“kebaruan” atau “upaya untuk memperbarui”, benar-benar digdaya seperti
kedengarannya dan dahsyat seperti popularitasnya karena teramat sering dipakai
mulai dari guru Taman Kanak-kanak sampai menteri, pengusaha atau politisi?
Jika inovasi diandaikan sebagai suatu prasyarat bagi
kebaikan atau perbaikan dalam satu sistem sosial, apakah ada jaminan akan
demikian adanya? Bukankah memperbarui berarti juga “merombak”, “mengganti”,
“mengubah”, “membuang”, atau bahkan “menghancurkan” yang lama dan “mengenalkan”
dan “menge-paskan” yang baru di tempat sesuatu yang lama tersebut? Tidakkah itu
berarti akan ada yang “dikorbankan”, “konflik”, pergesekan dan pergeseran yang
tak mungkinkan diterima atau mengenakkan semua orang dan semua pihak?
Tetapi, terlepas dari semua pertanyaan negatif di atas,
inovasi juga merupakan kemestian, suatu konsekuensi dari perubahan alam yang
terus menerus, perubahan struktur sosial, demografi perkembangan ilmu
pengetahuan dan sebagainya. Tidaklah mungkin, sebagai contoh, jika suatu
kelompok sosial tidak berinteraksi sama sekali dengan kelompok sosial lainnya,
tidak mengadopsi hal-hal yang memudahkan mereka dalam beraktifitas, atau sama
sekali tertutup dari dunia luar.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana inovasi mesti
mencapai dynamic equilibrium, bahwa
satu sistem sosial mencapai manfaat sebesar-besarnya dari suatu inovasi dan
oleh karena itu bukan disequilibrium,
suatu kondisi dimana inovasi justru menciptakan ketidakseimbangan, konflik,
problem sosial dan sebagainya (Rogers, 2003, hal. 452-453).
Oleh karena itu, amat penting untuk melihat apa saja
kemungkinan konsekuensi dari inovasi, baik dan buruk, terantisipasi atau tidak,
dan sebagainya.
Konsekuensi Inovasi
Konsekuensi inovasi
merupakan berbagai perubahan yang terjadi pada individu atau suatu sistem
sosial sebagai hasil atau dampak dari adopsi atau penolakan terhadap suatu
inovasi (Rogers, hal. 436). Bagi inovator atau pengadopsi inovasi, perubahan
yang diasumsikan atau diinginkan tentu saja perubahan yang positif, bahwa
inovasi adalah bagi kemaslahatan individu atau sistem sosial.
Namun demikian,
dalam banyak kasus difusi inovasi, konsekuensi inovasi ternyata tidak
terprediksi, bahwa innovator, change
agents, opinion leaders, atau
pengadopsi cenderung untuk menganut apa yang disebut sebagai pro-innovation bias, terlalu
mengedepankan dampak positif inovasi dan kurang memperhatikan sisi negatifnya.
Padahal, menurut Rogers, mereka semestinya dan harus mampu memprediksi
kemanfaatan sekaligus kerugian dari suatu inovasi sebelum mengenalkan atau
mengadopsinya.
Dalam studi tentang
inovasi, masalah konsekuensi merupakan hal yang paling sedikit dikaji, terutama
karena adanya pro-innovation bias,
kekurangan atau ketiadaan metodologi yang tepat, dan sulitnya untuk mengukur
konsekuensi inovasi seperti karena adanya cultural
relativism, bahwa suatu kultur bersifat spesifik dan tidak bisa disamaratakan
dengan kultur lainnya (Rogers, hal. 440-442).
Klasifikasi Konsekuensi
Keberadaan suatu
Inovasi pada dasarnya tidak hanya berkonsekuensi pada pengadopsi (adopters) saja, tetapi juga pada mereka
yang menolaknya (rejecters). Sebagai
contoh, dengan adanya inovasi ekonomi dalam suatu sistem sosial, keberhasilan
para pengadopsi dalam memperoleh penghasilan yang lebih besar akan mempengaruhi
(berkonsekuensi) pada mereka yang menolaknya, seperti dengan adanya pergeseran gap sosio-ekonomi.
Secara ringkas, konsekuensi inovasi dikategorikan ke dalam: (1) kosekuensi yang
diharapkan (desirable) versus
konsekuensi yang tidak diharapkan (undesirable);
(2) konsekuensi langsung (direct)
versus konsekeunsi yang tidak langsung (undirect);
dan (3) konsekuensi yang terantisipasi (anticipated) versus konsekuensi yang
tidak terantisipasi (unanticipated).
Desirable consequences merupakan efek-efek yang fungsional yang
diharapkan terjadi dengan adanya suatu inovasi pada individu atau sistem
sosial. Sedangkan undesirable
consequences sebaliknya merupakan efek-efek disfungsional yang terjadi
karena adanya inovasi pada individu atau sistem sosial. Untuk mengetahui apakah
inovasi melahirkan efek fungsional atau disfungsional maka harus dilihat
bagaimana inovasi tersebut mempengaruhi para pengadopsinya.
Terkait dengan
klasifikasi konsekuensi, Rogers (hal. 445) menyimpulkan bahwa berbagai efek yang diakibatkan oleh adanya
inovasi bagaimanapun juga tidak bisa sepenuhnya di-manage, bahwa konsekuensi inovasi tidak bisa
sepenuhnya dipilah-pilah seperti dengan memastikan hanya ada konsekuensi yang
diharapkan tanpa adanya konsekuensi yang tidak diharapkan.
Direct consequences adalah berbagai perubahan pada individu atau
sistem sosial yang terjadi secara langsung karena mengadopsi suatu inovasi.
Sedang indirect consequences adalah
berbagai perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi dari adanya konsekuensi
langsung. Sebagai contoh adalah inovasi kebijakan pendidikan di Indonesia yang
berkonsekuensi pada pertumbuhan jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang sangat
cepat, terutama di kota-kota besar (konsekuensi langsung). Akan tetapi, hal ini
menyebabkan konsekuensi berikutnya bahwa Indonesia saat ini juga dikelompokkan
sebagai salah satu negara “produsen” ijazah, bahwa banyak lembaga pendidikan
lebih berfungsi sebagai penjual ijazah ketimbang fungsi utamanya untuk
menghasilkan lulusan yang qualified. Konsekuensinya
lagi, banyak sarjana yang “berijazah’, tetapi tidak memiliki skills yang sesuai dengan apa yang
tertera pada ijazahnya dan oleh karena itu menganggur.
Konsekuensi inovasi juga diklasifikasikan ke
dalam anticipated versus unanticipated. Konsekuensi yang terantisipasi (atau diantisipasi) adalah berbagai
perubahan yang memang disengaja supaya terjadi dan diakui oleh anggota suatu
sistem sosial. Sedangkan berbagai perubahan yang tidak disengaja atau tidak
diakui (diterima) oleh suatu sistem sosial disebut sebagai unanticipated consequences.
Pengadaan buku
teks di sekolah-sekolah dimaksudkan supaya proses pembelajaran bisa berjalan
lebih lancar dan siswa bisa belajar lebih mandiri tidak hanya di sekolah tetapi
juga di rumah. Hal ini, seperti bagi pihak sekolah dan orang tua murid, merupakan
sesuatu yang disengaja dan diakui. Akan tetapi, keberadaan buku teks, dalam
banyak kasus di sekolah, membuat guru, murid, atau orang tua menjadi sangat
tergantung dalam penggunaannya sehingga cenderung mengabaikan sumber-sumber
pembelajaran lainnya. Konsekuensi laten lain yang sulit diantisipasi adalah
bahwa pengadaan buku teks sangat berpotensi menjadi bisnis tersendiri bagi
pihak sekolah bekerjasama dengan penerbit yang bisa jadi mengabaikan
nilai-nilai etis profesionalisme dan kualitas pendidikan sendiri.
Sebagai
penutup pembahasannya tentang klasifikasi konsekuensi inovasi, Rogers
menyimpulkan bahwa konsekuensi yang undesirable, indirect, dan unanticipated dari
suatu inovasi biasa terjadi secara bersamaan sebagaimana halnya dengan
konsekuensi yang desirable, direct dan anticipated”(hal.449).
Bentuk,
Fungsi dan Makna Inovasi
Terkait
dengan antisipasi dari konsekuensi inovasi, terdapat tiga unsur intrinsik yang menentukan
keberhasilan suatu inovasi, yakni:
1.
Bentuk
(form) dari inovasi, yakni tampilan
dan substansi fisik yang langsung bisa dikenali dari suatu inovasi. Dalam dunia
pendidikan, penggunaan software
pembelajaran memiliki form yang mirip
dengan buku, Lembar Kerja Siswa dan lainnya.
2.
Kegunaan
(function) dari inovasi, yaitu
kontribusi yang diberikan oleh suatu inovasi terhadap cara hidup (the
way of life) atau bagaimana aktivitas dalam suatu sistem sosial dijalankan.
Software pembelajaran bisa digunakan dalam
mengajar dan bisa jadi membuat siswa lebih tertarik dan oleh karena itu
mendatangkan hasil lebih baik.
3. Makna (meaning) dari inovasi, yakni persepsi
subyektif dan seringkali tidak sadar oleh anggota sistem sosial terkait dengan
suatu inovasi. Dalam difusi inovasi, aspek makna ini merupakan hal yang paling
sulit untuk disentuh atau dipastikan bisa diantisipasi. Dalam kasus inovasi
penggunaan kapak besi pada suku Yir Yoront, kegagalan mengantisipasi perubahan
makna sosial “kapak batu” ketika warga
mengadopsi “kapak besi” menyebabkan masalah sosial seperti kemalasan, prostitusi
dan keretakan hubungan antar warga.
Rogers kemudian
menyimpulkan bahwa “change agents lebih
mudah mengantisipasi bentuk dan fungsi inovasi bagi anggota sistem sosial
ketimbang dalam mengantisipasi perubahan maknanya (hal. 451).”
Mencapai
Ekuilibrium Dinamis
Terkait dengan
keseimbangan suatu sistem sosial ketika inovasi akan dan sudah diadopsi dapat
diklasifikasikan tiga jenis ekuilibrium:
1.
Stable equilibrium, yakni ketika hampir sama sekali tidak ada
perubahan dalam struktur atau fungsi suatu sistem sosial. Dalam hal ini,
keseimbangan struktural maupun fungsional ketika inovasi diadopsi hampir sama
dengan sebelum diadopsi. Ekuilibrium ini umpamanya ditemukan ketika inovasi
dilakukan dengan sangat lambat, dengan tingkat massiveness yang rendah atau tidak terjadi sama sekali.
2.
Dynamic equilibrium, yakni ketika kecepatan atau kadar difusi dan
adopsi inovasi melahirkan perubahan yang seimbang secara struktural dan
fungsional atau seiring dengan kemampuan suatu sistem sosial untuk beradaptasi.
Ekuilibrium dinamis ini, oleh karena itu, merupakan hal yang menjadi patokan
bagi change agents dalam melakukan
difusi inovasi.
3.
Disequilibrium, bahwa inovasi menyebabkan perubahan yang
terlalu cepat sehingga sistem sosial tidak mampu menyesuaikan diri baik secara
struktural maupun fungsional (beradaptasi). Dalam hal ini, inovasi bisa
melahirkan disorganisasi sosial dan pada gilirannya lebih menyulitkan
terjadinya perubahan sosial.
Konsekuensi
Inovasi dan Masalah Ekualitas
Ketika
suatu sistem sosial mengadopsi inovasi, akan terdapat kemungkinan terjadinya
peningkatan ekualitas atau sebaliknya jutsru mempertajam inekualitas. Bagi para
innovator atau early adopters,
seperti dalam inovasi yang terkait dengan ekonomi, besar kemungkinan mereka
akan mendapatkan windfall profit,
keuntungan yang sangat besar sehingga mengubah proporsi yang sudah ada. Bisa
jadi, kelompok sosial yang kaya akan menjadi semakin kaya, ketika kelompok yang
miskin menjadi semakin miskin.
Rogers
oleh karena itu menyimpulkan bahwa konsekuensi
dari difusi inovasi biasanya semakin melebarkan jarak sosio-skonomi antara
pengadopsi awal dan yang belakangan dalam suatu sistem sosial (hal. 460).
Terkait dengan
komunikasi dalam difusi inovasi, Rogers menyimpulkan bahwa jarak sosio-ekonomi
di antara berbagai audience segment
juga akan melebar seiring dengan tinggi-rendahnyastatus sosio-ekonomi mereka (hal. 461).
Seiring dengan
kedua kesimpulan ini, Rogers menyatakan bahwa struktur sosial dalam taraf tertentu menentukan tingkat perubahan
ekualitas atau inekualitas dalam suatu sistem sosial sebagai konsekuensi dari
inovasi (hal. 463).
Sehubungan dengan
upaya mencegah atau mengurangi inekualitas, Rogers berkesimpulan bahwa change agents atau change agencies bisa saja melakukan berbagai upaya khusus untuk
mengurangi dampak dari jarak sosio-ekonomi antara kelompok bawah dan kelompok
atas dalam difusi inovasi (hal. 467). Saran-saran yang diberikan oleh
Rogers bisa diringkas sebagai berikut:
1.
Kelompok
atas memiliki akses terhadap informasi dan kesadaran akan inovasi yang lebih
ketimbang kelompok bawah. Oleh karena itu, change
agents harus berusaha memfasilitasi kelompok bawah supaya memperoleh akses
informasi dan kesadaran inovasi.
2.
Kelompok
atas memiliki akses terhadap informasi mengenai evaluasi inovasi ketika
kelompok bawah kurang atau tidak sama sekali. Change agents harus berusaha memfasilitasi akses bagi kelompok
bawah seperti dengan memanfaatkan opinion
leaders di kalangan mereka, bantuan dari aides, atau pengorganisasian.
3.
Kelompok
atas memiliki sumber daya (modal) yang lebih ketimbang kelompok bawah untuk
mengadopsi inovasi. Change agents,
oleh karena itu, mesti berusaha memfasilitasi supaya adopsi inovasi tidak mahal
seperti dengan masifikasi, bantuan pihak lain, dan sebagainya.
Referensi
Rogers,
Everet M. (2003) Diffusion of Innovation. New York: Free Press
Wibowo,
Sigit (2011) Silabus Difusi dan Inovasi Pembelajaran. Jakarta: UIA
No comments:
Post a Comment