Tuesday, June 19, 2012


Perkembangan Teori Psikologi: Hull, Guthrie, Tolman, dan Lewin
Khairil Azhar

Pengantar
                Keempat ahli psikologi yang akan dibahas, yakni Hull, Guthrie, Tolman, dan Lewin termasuk ke dalam kelompok behavioris dengan berbagai modifikasi yang dilakukan masing-masing seperti dengan mengadopsi atau mengawinkannya dengan teori Gestalt seperti yang dilakukan oleh Lewin.
                Dalam makalah ini, akan dibahas garis besar pemikiran psikologi dari masing-masing tokoh dan kemudian difokuskan pada aspek-aspek psikologi pendidikan, terutama terkait dengan belajar, serta implikasi atau pengaruhnya dalam dunia pendidikan moderen.

Clark L. Hull (1884-1952)
Hull adalah psikolog behavioris Amerika yang berusaha menjelaskan tentang perilaku menggunakan hukum-hukum saintifis dengan banyak variabel dan persamaan yang kompleks. Dalam hal ini, Hull dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin dan menegaskan bahwa perilaku berfungsi sebagai suatu  mekanisme untuk bertahan hidup, bahwa perilaku organisme merupakan wujud dari upaya memaksimalkan kesempatan untuk survival (Jordan et. al, 2008, hal. 23).
Perilaku oleh karena itu diartikan sebagai serangkaian interaksi antara organisme (atau individu) dengan lingkungannya. Berdasarkan perspektif adaptasi biologis, Hull menyatakan bahwa organisme kemudian melakukan optimalisasi supaya bisa bertahan hidup dengan meminimalkan kebutuhannya (need reduction) (Wikipedia, 2011).
Sekuensi dari model yang dikembangkan Hull adalah: (1) organisme mengalami deprivasi; (2) deprivasi melahirkan kebutuhan; (3) kebutuhan mengaktivasi drive; (4) drive mengaktivasi perilaku; (5) perilaku diarahkan oleh tujuan; (6) pencapaian tujuan memiliki nilai survival (untuk bertahan hidup) (Wikipedia, 2011).
Menurut Hull, organisme memiliki dua karakteristik kunci, yakni kekuatan dorongan dan kebiasaan (drive and habit strength). Drive diartikan sebagai suatu keadaan internal yang mendorong organisme berperilaku yang terlahir dari kebutuhan fisiologis (physiological need) atau keinginan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan kekuatan kebiasaan berkaitan dengan asosiasi antara suatu stimulus dan respons. Suatu organisme biasanya akan memilih respons yang terkait dengan kebiasaan yang paling kuat. Sebagai contoh, jika seekor tikus dalam satu maze diberikan beberapa pilihan rute yang bisa ditempuhnya, maka dia akan memilih rute yang paling biasa ditempuhnya (Jordan et. al, 2008, hal. 23; Wittig, 1977, hal. 106)
Teori Hull ini oleh karena itu berbeda dari kalangan behavioris klasik yang menyatakan bahwa stimulus langsung mengarah pada respons. Secara ilustratif, di antara stimulus dan respons terdapat drive dan habit yang menjadi variabel antara (intervening variable) yang juga mempengaruhi respons pada organisme.
 
              Terkait dengan belajar (learning) Hull mengembangkan teori yang disebut mathematico-deductive theory of learning atau sederhananya disebut drive-reduction theory of learning. Dalam teori ini Hull menyatakan bahwa prestasi bisa dicapai  berkat adanya fungsi multiplikatif dari drive dan habit strength.  Jika tidak ada unsur drive, prestasi akan menurun sampai titik nol. Demikian juga, jika tidak ada unsur habit strength, prestasi akan mengalami hal yang sama (Chaplin, 1995, hal. 230-231).
                 Pada awalnya, Hull mengemukakan rumus:

 
sEr              = potensi keterangsangan (excitatory potential), yakni kemungkinan bahwa organisme akan
                     memproduksi respons “r” terhadap stimulus “s”.
sHr             = kekuatan kebiasaan (habit strength), yang berasal dari upaya pengkondisian sebelumnya.
D                 = kekuatan dorongan (drive strength), yang ditentukan seperti oleh seberapa lama organisme
                     mengalami deprivasi makanan, air, dsb.

            Selanjutnya, berdasarkan penelitian lebih lanjut, Hull menyempurnakan rumusnya menjadi
 
V                 = intensitas stimulus
K                 = motivasi insentif (ukuran atau kualitas penguat [reinforcer])
J                  = insentif berdasarkan ketertundaan penguatan
Ir                 = hambatan reaktif (seperti kelelahan)
sIr               = hambatan yang dikondisikan (terkait dengan respons tanpa penguatan sebelumnya)
sLr              = ambang reaksi (penguatan terkecil yang melahirkan learning
sOr             = keraguan sesaat dalam berperilaku (momentary behavioral oscilation) atau error

Edwin Ray Guthrie (1886-1959)
                Guthrie adalah ahli psikologi behavioris-eksperimental  Amerika yang mengedepankan teori kontiguitas terkait dengan belajar (learning). Meskipun sebagian besar percobaan dan penelitian yang dilakukan oleh Guthrie adalah terhadap binatang, dia juga mengaplikasikan framework-nya terkait dengan kelainan kepribadian (personality disorders).
Secara umum kontiguitas berkaitan dengan asosiasi atau keterikatan (bonds) antara stimulus dan respons. Guthrie sendiri menyatakan bahwa kontiguitas adalah apabila suatu kombinasi (atau suatu pola) stimulus yang telah melahirkan suatu gerakan terjadi (atau dikondisikan) lagi maka akan diikuti oleh gerakan yang sama (Smith & Smith, 1966, hal. 33).
Bagi Guthrie, semua bentuk belajar merupakan konsekuensi dari adanya asosiasi antara satu stimulus khusus dengan responsnya. Suatu kombinasi stimulus-respons melahirkan pola sensori-motor yang spesifik juga. Yang dipelajari oleh individu, oleh karena itu, adalah gerakan-gerakan, bukan perilaku.
Guthrie membedakan antara gerakan (movement) dan tindakan (act). Gerakan merupakan sesuatu yang dipelajari dan merupakan satu bagian kecil dari perilaku (behavior), ketika tindakan adalah serangkaian gerakan yang membangun suatu kemahiran (skill) (Wikipedia, 2011). Sedangkan konsep perilaku, dalam psikologi, didefinisikan sebagai respons apapun dari seseorang atau binatang yang bisa diamati (observable) atau terukur (measurable) (Wittig, 1977, hal. 1).
Guthrie berpendapat bahwa proses belajar terjadi dalam satu usaha tunggal (single trial atau one trial theory), bahwa dalam suatu situasi stimulus, belajar itu terjadi atau tidak  sama sekali. Namun demikian, karena adanya perbedaan setiap pola stimulus, trial yang berulang-ulang mungkin saja dibutuhkan untuk mendapatkan respons yang umum. Terkait dengan ini terdapat konsep postremitas, bahwa kita selalu belajar hal terakhir yang dilakukan sebagai respons terhadap situasi stimulus yang spesifik.
Contoh paradigma eksperimental klasik dari teori kontiguitas adalah bagaimana kucing belajar keluar dari kotak puzzle. Guthrie menggunakan sebuah boks kaca berpanel yang memungkinkannya untuk memotret gerakan-gerakan kucing secara presisi. Foto-foto yang diperoleh Guthrie menunjukkan bahwa kucing belajar untuk mengulangi sekuensi gerakan yang sama yang terasosiasi dengan usahanya untuk keluar yang sudah dilakukan sebelumnya.
Prinsip-prinsip belajar berdasarkan teori kontiguitas Guthrie adalah:
1.       Supaya pengkondisian bisa terjadi, organisme mesti merespons secara aktif, yakni melakukan sesuatu.
2.       Karena belajar melibatkan pengkondisian gerakan-gerakan spesifik, instruksi mesti diberikan dalam bentuk tugas-tugas yang sangat spesifik pula.
3.       Dalam rangka mendapatkan respons yang umum (generalized response), mesti ada exposure terhadap berbagai variasi dalam pola pemberian stimulus.
4.       Respons terakhir dalam satu situasi belajar mestilah benar karena respons inilah yang akan diasosiasikan

Aplikasi Teori Guthrie
Dalam teori kontiguitas, konsep reward and punishment, sebagai contoh, tidak berperan signifikan dalam proses belajar karena reward atau punishment atau reinforcement terjadi setelah adanya asosiasi antara stimulus dan respons. Punishment itu efektif bukan karena berat atau menyakitkannya, tetapi lebih karena hukuman itu meng-elisitasi adanya suatu perilaku yang tidak compatible dengan perilaku yang tidak diinginkan.
Dalam teori kontiguitas juga dinyatakan bahwa lupa (forgetting) terkait dengan interference (gangguan) dan bukan soal waktu, bahwa stimulus terasosiasi dengan respons baru (yang berbeda). Lupa tidak akan terjadi, oleh karena itu, jika stimulus terasosiasi dengan respons yang biasa. Terkait dengan ini, pengkondisian untuk mendapakatkan respons yang biasa juga bisa berubah karena terasosiasi dengan respons yang menghambat seperti ketakutan atau kelelahan. Peran dari motivasi oleh karena itu adalah untuk menciptakan keadaan terangsang (a state of arousal) dan aktivitas yang memproduksi respons yang bisa dikondisikan.
Dalam dunia terapi modern, teori interferensi Guthrie masih digunakan secara luas, yakni dalam hal menghentikan suatu kebiasaan. Menurut Guthrie, jika ingin mengubah suatu kebiasaan, mesti diciptakan suatu perilaku baru untuk menggantikan perilaku yang lama. Kebiasaan itu sendiri pada dasarnya tidak hilang atau pudar karena tidak digunakan atau dipraktikkan. 

Edward C. Tolman (1886-1959)
                Tolman terkenal dengan upayanya mempelajari proses belajar dengan eksperimen menggunakan tikus dan maze. Dalam hal ini, Tolman berusaha menunjukkan bahwa binatang bisa belajar berbagai fakta yang bisa digunakan secara fleksibel dan bukannya sekadar respons otomatis belajar sederhana yang dipicu oleh stimulus lingkungan. Dengan kata lain, tikus bisa melampaui sekadar perilaku stimulus-response, sehingga bisa belajar, mengingat, dan menggunakan fakta terkait untuk keluar dari maze. Dalam deskripsi Tolman kemudian, mental coding, penyimpanan dan spatial accessing serta informasi lainnya disebut sebagai cognitive map (Jordan et. al, 2008, hal. 26)
Berdasarkan teori Gestalt, Tolman menyatakan bahwa binatang bisa belajar tentang keterkaitan antar berbagai stimulus dan tidak memerlukan peristiwa biologis yang signifikan (seperti munculnya drive) supaya proses belajar terjadi. Teori ini kemudian dikenal dengan latent learning.
Karena pendapatnya ini, Tolman (yang disebut sebagai  teoritisi “S-S” [stimulus-stimulus] dan non-reinforcement) berada dalam posisi yang berseberangan dengan Clark L. Hull yang menganut paham “S-R” (stimulus-response) yang dimungkinkan oleh adanya reinforcement.
Konsep cognitive map Tolman saat ini digunakan secara ekstensif dalam hampir semua lapangan psikologi, ketika banyak yang tidak menyadari bahwa gagasan-gagasan mengenainya pertama sekali dirumuskan dalam rangka untuk menjelaskan perilaku tikus dalam maze.
Dalam merumuskan cognitive map, Tolman menguji apa yang disebut sebagai belajar respons (response learning) dan belajar tempat (place learning). Response learning terjadi ketika tikus tahu bahwa dengan menempuh jalan tertentu dalam maze akan mengantarnya pada makanan. Sedangkan place learning terjadi setiap kali tikus belajar untuk mengasosiasikan adanya makanan di suatu tempat tertentu. Tolman kemudian menemukan bahwa semua tikus dalam maze place-learning baru bisa menempuh jalur yang benar setelah 8 kali trial dan tidak ada yang bisa belajar dengan cepat dalam response-learning, bahkan beberapa tikus tidak belajar sama sekali setelah 72 trial.
                Tolman kemudian berkesimpulan bahwa tikus bisa melewati jalan tepat ketika terbentuk peta kognitif pada tikus tersebut.

Kurt Lewin (1890-1947)
1.       Teori Medan
Teori medan (field theory) Lewin pada dasarnya dipengaruhi oleh konsep medan dalam ilmu fisika dan kimia yang sebelumnya sudah diadaptasi oleh para pendahulunya ke dalam psikologi Gestalt. Konsep medan sendiri diartikan sebagai totalitas fakta-fakta yang ber-koeksistensi yang dilihat saling bergantung (interdependen) secara mutual.  Individu-individu dilihat berperilaku secara berbeda sesuai dengan cara dalam mana berbagai ketegangan di antara persepsi tentang diri dan lingkungan berlangsung. Oleh karena itu, untuk memahami perilaku harus dilihat keseluruhan medan psikologis atau “lifespace” (ruang hidup) yang menjadi tempat di mana orang bertindak. Individu-individu sendiri berpartisipasi dalam serangkain life-space seperti keluarga, lingkungan kerja, sekolah atau tempat ibadah. Semua ruang hidup ini dikonstruksi di bawah pengaruh berbagai vector pemaksa (force-vectors).
Singkat kata, Lewin ingin mengatakan bahwa individu dibentuk oleh lingkungan sosial melalui berbagai bentuk interaksi, yang kemudian diinternalisasi melalui proses belajar. Ciri-ciri teori medan Lewin adalah:
1.       Perilaku merupakan suatu fungsi dari medan yang ada pada waktu perilaku terjadi.
2.       Analisis bermula dengan situasi sebagai suatu keseluruhan darimana bagian-bagian komponen  di-differensiasi.
3.       Persona kongkrit dalam suatu situasi kongkrit bisa direpresentasikan secara matematis.

Teori berikutnya dari Lewin adalah apa yang disebut sebagai group dynamic atau dinamika kelompok. Masih terkait dengan teori medan-nya, Lewin berpendapat bahwa proses kelompok berkaitan dengan interdependensi nasib (fate interdependence) dan interdependensi tugas (task interdependence).
Interdependensi nasib merupakan argumen dasar bahwa kelompok-kelompok sosial terbentuk karena suatu sense psikologis dan bukan karena para anggota kelompok memiliki kemiripan satu sama lain (meskipun kenyataannya seperti itu). Suatu kelompok tumbuh dan bertahan ketika orang-orang di dalamnya menyadari nasib mereka bergantung pada nasib kelompok secara keseluruhan.
                Independensi tugas atau kewajiban terkait dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh para anggota kelompok. Dengan kata lain, adanya kewajiban (atau tujuan) kelompok membuat anggota kelompok saling tergantung dalam rangka mencapai sesuatu atau achievement. Keinginan dan upaya untuk mencapai tujuan ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai dinamika kelompok.
                Jika kedua interdependensi ini dibandingkan, maka task interdependence jauh lebih signifikan dan kuat dalam mendorong dinamika kelompok.
                Implikasi dari dinamika kelompok bisa jadi positif atau sebaliknya negative. Jika satu anggota kelompok lebih maju ketimbang yang lainnya, dia akan bisa mendorong atau memfasilitasi kesuksesan anggota yang lainnya. Tetapi, juga ada kemungkinan sebaliknya, bahwa kemajuan satu atau sebagian anggota kelompok justru menyebabkan atau berkontribusi bagi kegagalan anggota yang lainnya.
                Masih terkait dengan teori dinamika kelompok Lewin adalah eksplorasi tentang berbagai gaya atau tipe kepemimpinan pada struktur kelompok dan perilaku anggota kelompok. Berdasarkan tiga model kepemimpinan, yakni demokratis, otokratis, dan laissez-faire, disimpulkan bahwa dalam kelompok yang demokratis terdapat orisinalitas, kesetiaan pada kelompok (group-mindedness), dan keakraban. Sebaliknya, dalam kelompok dengan kepemimpinan otokratis dan laissez-faire, terdapat agresi, permusuhan, pengambing-hitaman dan ketidakpuasan.
               
2.       T-Groups, Fasilitasi dan Pengalaman
                T-Groups merupakan singkatan dari “basic skill training groups’, atau kelompok-kelompok dalam pelatihan kemampuan dasar bagi orang-orang yang bekerja dalam lembaga pelayanan masyarakat. Dalam pelatihan ini Lewin dan kawan-kawannya menemukan dan merumuskan empat elemen penting:
1.       Feedback (umpan-balik), yang diartikan sebagai informasi yang didapatkan tentang kinerja dengan melihat hasil atau dampak yang kemudian digunakan untuk memperbaiki proses berikutnya atau kegiatan yang samadi kemudian hari.
2.       Unfreezing (pencairan), yakni proses diskonfirmasi terhadap system keyakinan sebelumnya dari seseorang. Ini dilakukan untuk menguji atau mengkaji ulang asumsi-asumsi tentang seseorang atau hubungannya dengan orang lain. Oleh karena itu, para trainer harus menciptakan lingkungan dimana nilai-nilai dan keyakinan bisa di-tantang (seperti didiskusikan dsb.)
3.       Observasi Partisipan, yakni para anggota kelompok harus berpartisipasi secara emosional dalam kelompok sekaligus mengobservasi diri mereka dan kelompok secara obyektif. Meskipun hal ini sulit karena sikap resistensi anggota kelompok, observasi ini sangat penting supaya orang bisa belajar dan berkembang.
4.       Cognitive aids, yakni penggunaan alat-alat bantu untuk pembelajaran seperti presentasi pendek, hand-out, tugas membaca, video dan sebagainya.

3.       Penelitian Tindakan
                Action research merupakan penelitian yang secara sederhana dilakukan dalam siklus perencanaan, aksi dan penemuan fakta dengan melihat hasil dari tindakan. Langkah pertama, menurut Lewin, menguji gagasan secara saksama dengan memanfaatkan media yang ada. Jika memungkinkan, fakta-fakta yang ada juga disertakan. Setelah tahap ini selesai, akan diperoleh “overall plan” atau rencana besar untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
                Langkah berikutnya adalah perencanaan secara lebih detil, eksekusi dan fact-finding dengan tujuan untuk mengevaluasi hasil-hasil yang diperoleh setelah langkah kedua serta menyiapkan basis rasional untuk merencanakan langkah ketiga atau jika diperlukan memodifikasi rencana secara keseluruhan. Siklus ini dilakukan lagi jika diperlukan untuk perbaikan kinerja lebih lanjut.
 
Langkah-langkah ‘Action Research

Referensi
Atkinson, et. al., Pengantar Psikologi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991
Chaplin, C.P., Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995
Knutson, Andie L., The Individual, Society, and health Behavior, New York: Russell Sage Foundation, 1965
Morgan, et. al., Introduction to Psychology, Singapore: McGraw-Hill, 1984
Wittig, Arno F., Theory and Problems of Introduction to Psychology, New York: McGraw-Hill, 1977
Smith & Smith, Cybernetic Principles of Learning and Educational Design, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1966

Internet



No comments:

Post a Comment