Perkembangan
Teori Psikologi: Hull, Guthrie, Tolman, dan Lewin
Khairil Azhar
Pengantar
Keempat ahli psikologi yang akan
dibahas, yakni Hull, Guthrie, Tolman, dan Lewin termasuk ke dalam kelompok
behavioris dengan berbagai modifikasi yang dilakukan masing-masing seperti
dengan mengadopsi atau mengawinkannya dengan teori Gestalt seperti yang
dilakukan oleh Lewin.
Dalam makalah ini, akan dibahas
garis besar pemikiran psikologi dari masing-masing tokoh dan kemudian
difokuskan pada aspek-aspek psikologi pendidikan, terutama terkait dengan
belajar, serta implikasi atau pengaruhnya dalam dunia pendidikan moderen.
Clark L. Hull (1884-1952)
Hull adalah psikolog behavioris Amerika yang berusaha menjelaskan
tentang perilaku menggunakan hukum-hukum saintifis dengan banyak variabel dan
persamaan yang kompleks. Dalam hal ini, Hull dipengaruhi oleh teori evolusi
Darwin dan menegaskan bahwa perilaku berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk bertahan hidup, bahwa
perilaku organisme merupakan wujud dari upaya memaksimalkan kesempatan untuk survival (Jordan et. al, 2008, hal. 23).
Perilaku oleh karena itu diartikan sebagai serangkaian interaksi
antara organisme (atau individu) dengan lingkungannya. Berdasarkan perspektif
adaptasi biologis, Hull menyatakan bahwa organisme kemudian melakukan
optimalisasi supaya bisa bertahan hidup dengan meminimalkan kebutuhannya (need reduction) (Wikipedia, 2011).
Sekuensi dari model yang dikembangkan Hull adalah: (1) organisme
mengalami deprivasi; (2) deprivasi melahirkan kebutuhan; (3) kebutuhan
mengaktivasi drive; (4) drive mengaktivasi perilaku; (5)
perilaku diarahkan oleh tujuan; (6) pencapaian tujuan memiliki nilai survival (untuk bertahan hidup)
(Wikipedia, 2011).
Menurut Hull, organisme memiliki dua karakteristik kunci, yakni
kekuatan dorongan dan kebiasaan (drive
and habit strength). Drive
diartikan sebagai suatu keadaan internal yang mendorong organisme berperilaku yang
terlahir dari kebutuhan fisiologis (physiological
need) atau keinginan untuk mencapai
suatu tujuan. Sedangkan kekuatan kebiasaan berkaitan dengan asosiasi antara
suatu stimulus dan respons. Suatu organisme biasanya akan memilih respons yang
terkait dengan kebiasaan yang paling kuat. Sebagai contoh, jika seekor tikus
dalam satu maze diberikan beberapa
pilihan rute yang bisa ditempuhnya, maka dia akan memilih rute yang paling
biasa ditempuhnya (Jordan et. al, 2008, hal. 23; Wittig, 1977, hal. 106)
Teori Hull ini oleh karena itu berbeda dari kalangan behavioris
klasik yang menyatakan bahwa stimulus langsung mengarah pada respons. Secara
ilustratif, di antara stimulus dan respons terdapat drive dan habit yang
menjadi variabel antara (intervening variable)
yang juga mempengaruhi respons pada organisme.
Terkait
dengan belajar (learning) Hull
mengembangkan teori yang disebut mathematico-deductive
theory of learning atau sederhananya disebut drive-reduction theory of learning. Dalam teori ini Hull menyatakan
bahwa prestasi bisa dicapai berkat
adanya fungsi multiplikatif dari drive
dan habit strength. Jika tidak ada unsur drive, prestasi akan menurun sampai titik nol. Demikian juga, jika
tidak ada unsur habit strength,
prestasi akan mengalami hal yang sama (Chaplin, 1995, hal. 230-231).
Pada awalnya, Hull mengemukakan rumus:
sEr = potensi keterangsangan (excitatory potential), yakni kemungkinan
bahwa organisme akan
memproduksi respons “r”
terhadap stimulus “s”.
sHr = kekuatan
kebiasaan (habit strength), yang
berasal dari upaya pengkondisian sebelumnya.
D = kekuatan
dorongan (drive strength), yang
ditentukan seperti oleh seberapa lama organisme
mengalami
deprivasi makanan, air, dsb.
Selanjutnya,
berdasarkan penelitian lebih lanjut, Hull menyempurnakan rumusnya menjadi
V =
intensitas stimulus
K = motivasi
insentif (ukuran atau kualitas penguat [reinforcer])
J = insentif
berdasarkan ketertundaan penguatan
Ir = hambatan
reaktif (seperti kelelahan)
sIr = hambatan
yang dikondisikan (terkait dengan respons tanpa penguatan sebelumnya)
sLr = ambang
reaksi (penguatan terkecil yang melahirkan learning
sOr = keraguan
sesaat dalam berperilaku (momentary
behavioral oscilation) atau error
Edwin Ray Guthrie (1886-1959)
Guthrie adalah ahli psikologi
behavioris-eksperimental Amerika yang
mengedepankan teori kontiguitas terkait dengan belajar (learning). Meskipun sebagian besar percobaan dan penelitian yang
dilakukan oleh Guthrie adalah terhadap binatang, dia juga mengaplikasikan framework-nya terkait dengan kelainan
kepribadian (personality disorders).
Secara umum kontiguitas berkaitan dengan asosiasi atau keterikatan
(bonds) antara stimulus dan respons. Guthrie
sendiri menyatakan bahwa kontiguitas adalah apabila suatu kombinasi (atau suatu
pola) stimulus yang telah melahirkan suatu gerakan terjadi (atau dikondisikan)
lagi maka akan diikuti oleh gerakan yang sama (Smith & Smith, 1966, hal.
33).
Bagi Guthrie, semua bentuk belajar merupakan konsekuensi dari
adanya asosiasi antara satu stimulus khusus dengan responsnya. Suatu kombinasi
stimulus-respons melahirkan pola sensori-motor yang spesifik juga. Yang dipelajari
oleh individu, oleh karena itu, adalah gerakan-gerakan, bukan perilaku.
Guthrie membedakan antara gerakan (movement) dan tindakan (act).
Gerakan merupakan sesuatu yang dipelajari dan merupakan satu bagian kecil dari
perilaku (behavior), ketika tindakan
adalah serangkaian gerakan yang membangun suatu kemahiran (skill) (Wikipedia, 2011). Sedangkan konsep perilaku, dalam
psikologi, didefinisikan sebagai respons apapun dari seseorang atau binatang
yang bisa diamati (observable) atau
terukur (measurable) (Wittig, 1977,
hal. 1).
Guthrie berpendapat bahwa proses belajar terjadi dalam satu usaha
tunggal (single trial atau one trial theory), bahwa dalam suatu
situasi stimulus, belajar itu terjadi atau tidak sama sekali. Namun demikian, karena adanya
perbedaan setiap pola stimulus, trial
yang berulang-ulang mungkin saja dibutuhkan untuk mendapatkan respons yang
umum. Terkait dengan ini terdapat konsep postremitas, bahwa kita selalu belajar
hal terakhir yang dilakukan sebagai respons terhadap situasi stimulus yang
spesifik.
Contoh paradigma eksperimental klasik dari teori kontiguitas
adalah bagaimana kucing belajar keluar dari kotak puzzle. Guthrie menggunakan sebuah boks kaca berpanel yang
memungkinkannya untuk memotret gerakan-gerakan kucing secara presisi. Foto-foto
yang diperoleh Guthrie menunjukkan bahwa kucing belajar untuk mengulangi
sekuensi gerakan yang sama yang terasosiasi dengan usahanya untuk keluar yang
sudah dilakukan sebelumnya.
Prinsip-prinsip belajar berdasarkan teori kontiguitas Guthrie adalah:
1.
Supaya pengkondisian bisa terjadi,
organisme mesti merespons secara aktif, yakni melakukan sesuatu.
2.
Karena belajar melibatkan
pengkondisian gerakan-gerakan spesifik, instruksi mesti diberikan dalam bentuk
tugas-tugas yang sangat spesifik pula.
3.
Dalam rangka mendapatkan respons yang
umum (generalized response), mesti
ada exposure terhadap berbagai
variasi dalam pola pemberian stimulus.
4.
Respons terakhir dalam satu situasi
belajar mestilah benar karena respons inilah yang akan diasosiasikan
Aplikasi Teori Guthrie
Dalam teori kontiguitas, konsep reward and punishment, sebagai contoh, tidak berperan signifikan
dalam proses belajar karena reward
atau punishment atau reinforcement terjadi setelah adanya
asosiasi antara stimulus dan respons. Punishment
itu efektif bukan karena berat atau menyakitkannya, tetapi lebih karena hukuman
itu meng-elisitasi adanya suatu perilaku yang tidak compatible dengan perilaku yang tidak diinginkan.
Dalam teori kontiguitas juga dinyatakan bahwa lupa (forgetting) terkait dengan interference (gangguan) dan bukan soal
waktu, bahwa stimulus terasosiasi dengan respons baru (yang berbeda). Lupa
tidak akan terjadi, oleh karena itu, jika stimulus terasosiasi dengan respons
yang biasa. Terkait dengan ini, pengkondisian untuk mendapakatkan respons yang
biasa juga bisa berubah karena terasosiasi dengan respons yang menghambat
seperti ketakutan atau kelelahan. Peran dari motivasi oleh karena itu adalah
untuk menciptakan keadaan terangsang (a
state of arousal) dan aktivitas yang memproduksi respons yang bisa
dikondisikan.
Dalam dunia terapi modern, teori interferensi Guthrie masih
digunakan secara luas, yakni dalam hal menghentikan suatu kebiasaan. Menurut
Guthrie, jika ingin mengubah suatu kebiasaan, mesti diciptakan suatu perilaku
baru untuk menggantikan perilaku yang lama. Kebiasaan itu sendiri pada dasarnya
tidak hilang atau pudar karena tidak digunakan atau dipraktikkan.
Edward C.
Tolman (1886-1959)
Tolman
terkenal dengan upayanya mempelajari proses belajar dengan eksperimen
menggunakan tikus dan maze. Dalam hal
ini, Tolman berusaha menunjukkan bahwa binatang bisa belajar berbagai fakta
yang bisa digunakan secara fleksibel dan bukannya sekadar respons otomatis
belajar sederhana yang dipicu oleh stimulus lingkungan. Dengan kata lain, tikus bisa
melampaui sekadar perilaku stimulus-response, sehingga bisa belajar, mengingat,
dan menggunakan fakta terkait untuk keluar dari maze. Dalam deskripsi Tolman kemudian, mental coding, penyimpanan dan spatial
accessing serta informasi lainnya disebut sebagai cognitive map (Jordan et. al, 2008, hal. 26)
Berdasarkan teori Gestalt, Tolman
menyatakan bahwa binatang bisa belajar tentang keterkaitan antar berbagai
stimulus dan tidak memerlukan peristiwa biologis yang signifikan (seperti
munculnya drive) supaya proses
belajar terjadi. Teori ini kemudian dikenal dengan latent learning.
Karena pendapatnya ini, Tolman (yang
disebut sebagai teoritisi “S-S”
[stimulus-stimulus] dan non-reinforcement) berada dalam posisi yang
berseberangan dengan Clark L. Hull yang menganut paham “S-R”
(stimulus-response) yang dimungkinkan oleh adanya reinforcement.
Konsep cognitive map Tolman saat ini digunakan secara ekstensif dalam
hampir semua lapangan psikologi, ketika banyak yang tidak menyadari bahwa
gagasan-gagasan mengenainya pertama sekali dirumuskan dalam rangka untuk
menjelaskan perilaku tikus dalam maze.
Dalam merumuskan cognitive map, Tolman menguji apa yang disebut sebagai belajar
respons (response learning) dan
belajar tempat (place learning). Response learning terjadi ketika tikus
tahu bahwa dengan menempuh jalan tertentu dalam maze akan mengantarnya pada makanan. Sedangkan place learning terjadi setiap kali tikus belajar untuk
mengasosiasikan adanya makanan di suatu tempat tertentu. Tolman kemudian
menemukan bahwa semua tikus dalam maze place-learning
baru bisa menempuh jalur yang benar setelah 8 kali trial dan tidak ada yang
bisa belajar dengan cepat dalam response-learning,
bahkan beberapa tikus tidak belajar sama sekali setelah 72 trial.
Tolman kemudian berkesimpulan
bahwa tikus bisa melewati jalan tepat ketika terbentuk peta kognitif pada tikus
tersebut.
Kurt Lewin (1890-1947)
1.
Teori Medan
Teori medan (field theory) Lewin
pada
dasarnya dipengaruhi oleh konsep medan dalam ilmu fisika dan kimia yang
sebelumnya sudah diadaptasi oleh para pendahulunya ke dalam psikologi Gestalt. Konsep
medan sendiri diartikan sebagai totalitas fakta-fakta yang ber-koeksistensi
yang dilihat saling bergantung (interdependen) secara mutual. Individu-individu dilihat berperilaku secara
berbeda sesuai dengan cara dalam mana berbagai ketegangan di antara persepsi
tentang diri dan lingkungan berlangsung. Oleh karena itu, untuk memahami
perilaku harus dilihat keseluruhan medan psikologis atau “lifespace” (ruang hidup) yang menjadi tempat di mana orang
bertindak. Individu-individu sendiri berpartisipasi dalam serangkain life-space seperti keluarga, lingkungan
kerja, sekolah atau tempat ibadah. Semua ruang hidup ini dikonstruksi di bawah
pengaruh berbagai vector pemaksa (force-vectors).
Singkat kata, Lewin ingin mengatakan bahwa individu dibentuk oleh
lingkungan sosial melalui berbagai bentuk interaksi, yang kemudian diinternalisasi
melalui proses belajar. Ciri-ciri teori medan Lewin adalah:
1.
Perilaku merupakan suatu fungsi dari
medan yang ada pada waktu perilaku terjadi.
2.
Analisis bermula dengan situasi
sebagai suatu keseluruhan darimana bagian-bagian komponen di-differensiasi.
3.
Persona kongkrit dalam suatu situasi
kongkrit bisa direpresentasikan secara matematis.
Teori
berikutnya dari Lewin adalah apa yang disebut sebagai group dynamic atau dinamika kelompok. Masih terkait dengan teori
medan-nya, Lewin berpendapat bahwa proses kelompok berkaitan dengan
interdependensi nasib (fate
interdependence) dan interdependensi tugas (task interdependence).
Interdependensi nasib merupakan argumen
dasar bahwa kelompok-kelompok sosial terbentuk karena suatu sense psikologis dan bukan karena para
anggota kelompok memiliki kemiripan satu sama lain (meskipun kenyataannya
seperti itu). Suatu kelompok tumbuh dan bertahan ketika orang-orang di dalamnya
menyadari nasib mereka bergantung pada nasib kelompok secara keseluruhan.
Independensi tugas atau kewajiban terkait
dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh para anggota kelompok. Dengan
kata lain, adanya kewajiban (atau tujuan) kelompok membuat anggota kelompok
saling tergantung dalam rangka mencapai sesuatu atau achievement. Keinginan dan upaya untuk mencapai tujuan ini kemudian
melahirkan apa yang disebut sebagai dinamika kelompok.
Jika
kedua interdependensi ini dibandingkan, maka task interdependence jauh lebih signifikan dan kuat dalam mendorong
dinamika kelompok.
Implikasi
dari dinamika kelompok bisa jadi positif atau sebaliknya negative. Jika satu
anggota kelompok lebih maju ketimbang yang lainnya, dia akan bisa mendorong
atau memfasilitasi kesuksesan anggota yang lainnya. Tetapi, juga ada
kemungkinan sebaliknya, bahwa kemajuan satu atau sebagian anggota kelompok
justru menyebabkan atau berkontribusi bagi kegagalan anggota yang lainnya.
Masih
terkait dengan teori dinamika kelompok Lewin adalah eksplorasi tentang berbagai
gaya atau tipe kepemimpinan pada struktur kelompok dan perilaku anggota
kelompok. Berdasarkan tiga model kepemimpinan, yakni demokratis, otokratis, dan
laissez-faire, disimpulkan bahwa
dalam kelompok yang demokratis terdapat orisinalitas, kesetiaan pada kelompok (group-mindedness), dan keakraban.
Sebaliknya, dalam kelompok dengan kepemimpinan otokratis dan laissez-faire, terdapat agresi,
permusuhan, pengambing-hitaman dan ketidakpuasan.
2.
T-Groups, Fasilitasi dan Pengalaman
T-Groups
merupakan singkatan dari “basic skill
training groups’, atau kelompok-kelompok dalam pelatihan kemampuan dasar
bagi orang-orang yang bekerja dalam lembaga pelayanan masyarakat. Dalam
pelatihan ini Lewin dan kawan-kawannya menemukan dan merumuskan empat elemen
penting:
1. Feedback
(umpan-balik), yang diartikan sebagai informasi yang didapatkan tentang kinerja
dengan melihat hasil atau dampak yang kemudian digunakan untuk memperbaiki
proses berikutnya atau kegiatan yang samadi kemudian hari.
2. Unfreezing
(pencairan), yakni proses diskonfirmasi terhadap system keyakinan sebelumnya
dari seseorang. Ini dilakukan untuk menguji atau mengkaji ulang asumsi-asumsi
tentang seseorang atau hubungannya dengan orang lain. Oleh karena itu, para
trainer harus menciptakan lingkungan dimana nilai-nilai dan keyakinan bisa
di-tantang (seperti didiskusikan dsb.)
3. Observasi Partisipan, yakni
para anggota kelompok harus berpartisipasi secara emosional dalam kelompok
sekaligus mengobservasi diri mereka dan kelompok secara obyektif. Meskipun hal
ini sulit karena sikap resistensi anggota kelompok, observasi ini sangat
penting supaya orang bisa belajar dan berkembang.
4. Cognitive aids, yakni
penggunaan alat-alat bantu untuk pembelajaran seperti presentasi pendek, hand-out, tugas membaca, video dan
sebagainya.
3.
Penelitian Tindakan
Action
research merupakan penelitian yang secara sederhana dilakukan dalam siklus
perencanaan, aksi dan penemuan fakta dengan melihat hasil dari tindakan. Langkah
pertama, menurut Lewin, menguji gagasan secara saksama dengan memanfaatkan
media yang ada. Jika memungkinkan, fakta-fakta yang ada juga disertakan.
Setelah tahap ini selesai, akan diperoleh “overall plan” atau rencana besar
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Langkah
berikutnya adalah perencanaan secara lebih detil, eksekusi dan fact-finding
dengan tujuan untuk mengevaluasi hasil-hasil yang diperoleh setelah langkah
kedua serta menyiapkan basis rasional untuk merencanakan langkah ketiga atau
jika diperlukan memodifikasi rencana secara keseluruhan. Siklus ini dilakukan
lagi jika diperlukan untuk perbaikan kinerja lebih lanjut.
Langkah-langkah ‘Action Research’
Referensi
Atkinson,
et. al., Pengantar Psikologi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991
Chaplin,
C.P., Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995
Knutson,
Andie L., The Individual, Society, and health Behavior, New York: Russell
Sage Foundation, 1965
Morgan,
et. al., Introduction to Psychology, Singapore: McGraw-Hill, 1984
Wittig,
Arno F., Theory and Problems of Introduction to Psychology, New York:
McGraw-Hill, 1977
Smith
& Smith, Cybernetic Principles of Learning and Educational Design, New
York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1966
Internet
No comments:
Post a Comment