Tuesday, June 19, 2012

Difusi Inovasi dalam Pembelajaran dan Pendekatan PAKEM
Oleh: Khairil Azhar

Pengantar
“1.Dunia sedang bergerak sangat cepat melalui titik-ubah sejarah yang amat menentukan; 2. Kita hidup di tengah revolusi yang mengubah cara kita hidup, berkomunikasi, berpikir, dan mencapai kesejahteraan; 3. Revolusi ini akan menentukan cara kita dan anak-anak kita bekerja, mencari nafkah, dan menikmati hidup secara keseluruhan; 4. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, hampir segala hal mungkin dilakukan; 5. Sayangnya, di setiap Negara mungkin hanya ada satu dari setiap lima orang yang tahu benar cara memanfaatkan gelombang perubahan ini dengan cerdik—bahkan di negara maju sekalipun; 6. Jika kita tidak mampu mencari alternative penyelesaian atas persoalan tersebut, 20 persen yang termiskin hanya mengecap 2 persen—suatu kondisi yang memastikan terjadinya kemiskinan, kegagalan sekolah, kejahatan, penyalahgunaan obat-obatan, keputusasaan, kekerasan dan ledakan social; 7. Oleh karena itu, kita membutuhkan revolusi belajar untuk mengimbangi revolusi informasi, agar semua orang dapat menikmati keuntungan bersama dari potensi (sumber daya manusia) yang luar biasa; 8. Untungnya, revolusi tersebut yang berjalan semakin cepat juga membantu kita mempelajari segala hal lebih cepat dan lebih baik.” (Gordon Dryden & Jeannette Vos, 2000, hal. 19)

                Kedelapan tesis di atas menjadi dasar bagi Dryden dan Vos dalam menulis buku best-seller mereka, The Learning Revolution. Dan bagi kita, di Indonesia, yang bagaimanapun juga tak luput dari gelombang revolusi teknologi informasi, semua tesis ini berlaku pula.
                Sayangnya, tesis kelima dan keenam menjadi fenomena yang amat mengkhawatirkan, paling tidak jika kita mengamati secara kasat mata apa yang terjadi di sekitar kita, terutama terkait dengan bagaimana pembelajaran difasilitasi di sekolah dan institusi pendidikan lainnya. Artinya, tesis ketujuh dan kedelapan, yang menjadi resep untuk menyikapi revolusi teknologi informasi, penerapannya tidaklah semudah membalik telapak tangan.
                Dalam diskusi ini, oleh karena itu, kita akan mencoba melihat revolusi pembelajaran apa yang sudah atau mungkin dilakukan, supaya anak-anak kita tidak masuk ke dalam kelompok 20 persen yang termiskin dan hanya mengecap 2 persen saja dari kue kemakmuran dan kesejahteraan yang ada.

Inovasi Pembelajaran: Mengapa Perlu?
            “… Karena kita anggap guru itu sebagai tenaga kerja murahan untuk meneruskan pengetahuan. Dia tinggal mengajar. Guru les privat menjadi populer karena dianggap mengkompensasikan apa-apa yang kurang diajarkan di sekolah—“muatan ujian”. (Sayling Wen, 2003, hal.102)

                Pernyataan Sayling Wen ini, seperti halnya yang disampaikan oleh banyak sekali orang yang peduli pada pendidikan, pada dasarnya dialami dan dilakukan oleh sebagian besar guru. “Mengajar” adalah pekerjaan yang semata-mata diartikan sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada siswa dan membantu siswa supaya naik kelas, lulus ujian, mendapatkan ijazah, dan sebagainya. Tetapi apa yang pada akhirnya paling banyak terjadi?

“Jadi, mana mungkin seorang guru membatasi perannya hanya pada “membantu siswa naik kelas?” Sekarang ini seorang anak menghabiskan setidaknya sembilan tahun di sekolah dan yang dia peroleh hanyalah petunjuk untuk melahap buku-buku teks dan lulus ujian. Setelah diwisuda dia tidak tahu kemana harus menuju. Kalau seorang siswa gagal memahami konsep merencanakan kehidupannya, sang gurulah yang paling bertanggung jawab. (Sayling Wen, hal. 110)

                Singkat kata, pembelajaran yang jamak dilakukan di sekolah-sekolah adalah menjadikan anak sebagai “bank” ilmu pengetahuan, yang harus belajar sebanyak-banyaknya sesuai dengan yang disyaratkan oleh hal semacam SKL (Standar Kompetensi Lulusan). Tetapi bagaimana dengan proses pembelajaran, apakah materi yang dipelajari bermanfaat atau tidak, apakah para siswa mampu mandiri dalam kehidupannya?
                Di sinilah kemudian diperlukan inovasi dalam pendidikan, bahwa berbagai hal tentang pembelajaran, cara pandang dalam mengajar, kebiasaan-kebiasaan guru, tradisi di sekolah, organisasi kependidikan, atau media pembelajaran perlu diperbarui. Jika tidak, para siswa yang hari ini menjadi murid kita sangat mungkin menjadi kelompok termiskin dalam lingkungan sosialnya, seperti yang dikemukakan Dryden dan Vos di atas.
               
Inovasi Pembelajaran Quantum
1.       Pengertian Quantum Learning (QL)
“… proses belajar-mengajar yang terjadi antara guru dan siswa dapat divisualisasikan dengan membayangkan diri kita berada dalam ruangan yang gelap gulita. Ketika sebuah senter dinyalakan, selisih waktu antara munculnya cahaya yang terpantul di dinding dengan saat jari kita menekan tombol “on” pada senter tersebut  sangat cepat, bahkan hampir bersamaan. … Dalam proses pembelajaran, seharusnya kecepatan otak siswa menangkap informasi dari guru adalah 1.287 km/jam, sama dengan kecepatan cahaya yang keluar dari senter dan memantul di dinding. (Bobby dePorter, sebagaimana disadur dalam Munif Chatib, Sekolahnya Manusia (Bandung: Kaifa, 2009), hal. 99)
Secara bahasa, “quantum” adalah interaksi yang mengubah energi menjadi radiasi (pancaran-dahsyat cahaya). “Lompatan quantum” (quantum leap), yang dijadikan sebagai dasar etimologis penggunaan istilah “Quantum Learning”, kemudian diartikan sebagai perubahan, perbaikan atau perkembangan yang serta-merta, besar dan penting (Oxford Dictionary, 2010).
“Quantum learning” oleh karena itu bisa diartikan sebagai “interaksi” yang terjadi akibat menjalankan kegiatan belajar-mengajar yang dapat mengubah potensi-diri siswa menjadi pancaran aktualisasi-diri (penampakan keunggulan dan kelebihan diri).
                Dalam aplikasinya, quantum learning terkait dengan “gaya mengajar” dan “gaya belajar”. Gaya mengajar merupakan strategi transfer informasi  (atau komunikasi) yang diberikan oleh guru kepada siswa, ketika gaya belajar adalah bagaimana siswa menerima informasi dan memprosesnya lebih lanjut. Supaya terjadi suatu “quantum leap”, guru-lah yang harus menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa dan bukan sebaliknya. Dengan proses quantum ini, guru masuk ke dalam dunia siswa sehingga siswa merasa nyaman dan tidak berhadapan dengan hal semacam risiko kegagalan dalam proses belajar.
                Salah satu pre-requisite supaya quantum learning bisa terjadi adalah bahwa guru harus memiliki data yang kongkrit tentang gaya belajar masing-masing siswa. 

 
 
Sumber: Sekolahnya Manusia, Munif Chatib, 2009

Menurut dePorter, apabila seorang guru berhasil masuk ke dalam dunia siswa lewat penyesuaian gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa, siswa akan rela memberi “hak mengajar” kepadanya. Konsep “hak mengajar” ini berbeda dari “kewenangan mengajar”. “
Hak mengajar” merupakan sesuatu yang diraih oleh guru karena kerja keras untuk memahami siswa dan apa yang mereka inginkan dan oleh sebab itu memungkinkannya untuk memfasilitasi quantum learning. Sedangkan “kewenangan mengajar” semata-mata lisensi mengajar yang mungkin diberikan pemerintah, lembaga pelatihan dan sebagainya.

1.       Quantum Learning dalam Praktik
Quantum Learning (QL) merupakan model pembelajaran komprehensif yang seiring antara teori kependidikan dan implementasi real di ruang kelas. Pendekatan ini mengintegrasikan praktik-praktik yang memungkinkan konten pembelajaran menjadi bermakna dan relevan dengan kehidupan para siswa.
        QL pada dasarnya berupaya menghadirkan hal yang menyenangkan dalam kegiatan belajar-mengajar, dimana siswa mengalami momen-momen keberhasilan (‘Aha’ moments). Dalam pembelajaran, guru mengetengahkan materi (atau konten) dengan cara-cara yang melibatkan siswa supaya aktif (energized). Model pembelajaran ini juga mengintegrasikan antara “belajar” dengan “life-skills”, sehingga para siswa menjadi pembelajar seumur hidup yang berhasil—yang pada akhirnya membuat siswa mengikuti pendidikan berdasar kesadaran sendiri.
        Konteks QL dirumuskan dalam model yang disingkat FADE: Foundation-Atmosphere-Design-Environment (pemetaan lengkap terlampir). Dalam hal ini diyakini bahwa jika konteks pembelajaran berhasil diciptakan maka siswa akan terkondisikan sehingga pembelajaran terjadi secara dinamis.
        QL diandaikan terwujud dengan asumsi:  (1) semua orang bisa belajar; (2) setiap orang memiliki gaya belajar berbeda; dan (3) pembelajaran akan efektif jika menyenangkan, melibatkan dan menantang.
        Pembelajaran selanjutnya dibangun atas 8 Prinsip Keunggulan: (1) Integrity (kejujuran)—setiap orang berusaha untuk bersikap apa adanya (authenticity) otentisitas, tulus dalam berbuat (sincerity), dan sepenuh hati (wholeness) atau singkat kata “terdapat kesesuaian antara nilai dengan perbuatan; (2) Failure Leads to Success—paham bahwa kegagalan memberikan pengetahuan supaya kesuksesan bisa diraih; (3) Speak with Good Purpose—berbicara positif, jujur, dan langsung sehingga tidak ada gosip atau komunikasi yang merusak; (4) This is it!—fokus pada kenyataan saat ini dan lakukan yang terbaik dalam setiap usaha; (5) Commitment—penuhi janji dan kewajiban, tetap dalam visi, dan pastikan suatu pekerjaan selesai betapapun sulitnya; (6) Ownership—berani maju dan bertanggung-jawab atas pekerjaan; (7) Flexibility—terbuka pada perubahan atau pendekatan baru yang memungkinkan hasil yang diinginkan tercapai; dan (8) Balance—selaras pikiran, tubuh dan jiwa dengan menyediakan waktu untuk mengembangkan ketiganya. 
Kerangka pembelajaran bagi siswa disimpulkan dalam 5 prinsip belajar: (1) Semua bicara (segala sesuatu, mulai dari lingkungan dan nada bicara sampai pada penyampaian materi, mengandung pesan pembelajaran; (2) Semua punya tujuan (apapun yang dilakukan harus memiliki tujuan yang disengaja); (3) Alami dulu baru konsepsikan (siswa menemukan makna dan menyimpan konten baru ke dalam long-term memory berdasarkan keterhubungan dengan skema yang nyata, dimana pembelajaran terfasilitasi dengan baik ketika siswa mendapatkan cukup informasi dari berbagai sisi sebelum adanya konseptualisasi secara abstrak); (4) Hargai setiap usaha (penghargaan atas setiap usaha siswa akan mendorong mereka lebih giat belajar dan mencoba); (5) Belajar itu berguna, ayo rayakan keberhasilan! (perayaan atas keberhasilan, sekecil apapun, memberi umpan-balik untuk kemajuan pembelajaran dan meningkatkan asosiasi emosional yang positif.
        QL menciptakan atmosfir yang memungkinkan adanya trust, rasa aman dan rasa memiliki. Terkait dengan manajemen kelas, ketiga hal ini dibangun melalui berbagai pembiasaan, dimana siswa dilatih untuk fokus dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Pada pagi hari, sebagai contoh, dibuat kegiatan rutin dimana siswa dikondisikan supaya siap untuk menempuh kegiatan belajar di hari itu.  
Quantum Learning Design Frame terkait dengan presentasi dan fasilitasi konten pembelajaran yang bertujuan untuk memastikan penguasaan siswa (mastery): (1) Enroll—guru menggunakan gerakan-gerakan yang membuat siswa tertarik, menjadi ingin tahu, dan memperhatikan (interest-curiosity-attention); (2) Experience—memfasilitasi lahirnya pengalaman belajar yang bisa diikuti atau dimengerti oleh semua siswa dan pengalaman ini harus mendahului konseptualisasi abstrak mengenai materi; (3) Learn and label—konten pembelajaran mesti ter-presentasi dalam kegiatan, tersusun secara logis atau teratur dan terdefinisikan secara jelas. Sebab dalam pembelajaran siswa mesti belajar tentang konsep (label), keterampilan berpikir dan strategi akademis (seperti problem solving). Setiap konten baru akan diorganisakan oleh siswa ke dalam skema pengetahuan atau pengalaman mereka sendiri; (4) Demonstrate—siswa diberi kesempatan untuk mendemonstrasikan dan menggunakan pengetahuan/pengalaman baru mereka; (5) Review and reflect—menggunakan berbagai strategi review yang multi-sensoris dan efektif dan siswa difasilitasi supaya mampu memproses pengetahuan baru mereka melalui refleksi; (6) Celebration—proses pembelajaran yang sudah dilalui, seberapapun kecilnya, mesti dihargai dan dirayakan. Sebab hal ini akan meneguhkan konten yang sudah dipelajari dan akan memberikan kepuasan atas keberhasilan, yang pada gilirannya akan memotivasi siswa untuk pembelajaran berikutnya.
QL mensyaratkan penciptaan lingkungan fisik yang mendukung sehingga lebih memastikan keberhasilan pembelajaran. Dalam praktiknya, lingkungan belajar (seperti ruang kelas) membutuhkan adanya penerangan yang cukup, warna-warna yang mendukung, gambar-gambar yang memberikan pengaruh positif, tanaman, sarana untuk berkegiatan, dan musik. Di atas semuanya, harus dipastikan bahwa siswa merasa betah dan senang dengan lingkungan belajarnya. 
Kunci dari QL adalah penciptaan lingkungan sekolah yang memberdayakan, yang memfasilitasi komunitas-komunitas belajar yang aktif dan dinamis. 


Inovasi Pembelajaran Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsepsi belajar-mengajar yang membantu guru menghubungkan konten pembelajaran (subject-matter content) dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk menghubungkan antara pengetahuan dengan aplikasinya dalam kehidupan, baik sebagai anggota keluarga, warga negara atau karyawan pada suatu lembaga (www.cew.wisc.edu).
    Secara umum CTL dicirikan dengan adanya:
(1)    pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk menguasai konten secara rigorous, yakni menyeluruh sampai pada aplikasi konten pengetahuan tersebut;
(2)    pelibatan siswa dalam memetakan dan mengkaji masalah, sehingga mereka mengalami manis-pahitnya situasi dunia nyata, mampu memahami peran setiap pihak yang akan terpengaruh ketika suatu solusi dibuat, dan mereka mempraktikkan proses berpikir tingkat tinggi serta analisis masalah karena berpartisipasi dalam kegiatan yang otentik;
(3)     memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar pengetahuan dan keterampilan dalam konteks yang bermakna seperti di rumah, komunitas dan tempat kerja;
(4)    pembelajaran dilakukan berdasar pengetahuan yang sudah dimiliki siswa dan menggunakan pengalaman dan konteks hidup mereka sebagai platform, sehingga mereka bisa belajar tentang apa yang belum diketahui dengan bersandar pada apa yang sudah diketahui;
(5)    mendorong siswa untuk menemukan, menggunakan dan mengembangkan gaya belajar sendiri serta mengevaluasi pencapaian mereka;
(6)    mendorong siswa untuk belajar bersama dan saling menimba ilmu-pengetahuan;
(7)    menggunakan penilaian yang merepresentasikan pengetahuan, keterampilan dan disposisi aktual yang diminati oleh siswa sendiri.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, CTL pada dasarnya “mengharamkan” adanya: (1) metode pembelajaran ceramah semata; (2) aktivitas yang tanpa tujuan atau sekadar membuat siswa sibuk; (3) menjawab soal di akhir suatu unit/bab pelajaran; (3) metode menghapal; (4) perencanaan tujuan yang dirancang sendiri oleh guru; dan (5) ujian menggunakan kertas dan pensil.
Dalam aplikasinya, terdapat beberapa strategi yang bisa digunakan dalam CTL:
(1)    Problem-based—mulailah pembelajaran dengan simulasi atau masalah nyata. Siswa kemudian didorong untuk menggunakan skill berpikir kritis dan pendekatan sistemik untuk menyelesaikan masalah tersebut serta didorong untuk menganalisis masalah dengan meninjau dari berbagai aspeknya. Masalah yang biasanya menarik bagi siswa adalah terkait dengan keluarga, pengalaman belajar, atau komunitas mereka.
(2)    Use multiple contexts—gunakan konteks fisik dan sosial yang berbeda-beda untuk memperkaya keterampilan siswa, seperti sekolah, komunitas, atau keluarga.
(3)    Draw upon student diversity—latih siswa belajar dalam kelompok dan bekerja dalam team-work karena itu akan membiasakan mereka dengan keberbedaan, meluaskan perspektif dan membangun skill interpersonal mereka.
(4)    Support self-regulated learning—biasakan siswa belajar mandiri karena mereka mesti menjadi pembelajar seumur hidup. Siswa oleh karena itu diberi kesempatan untuk trial and error, waktu dan cara berefleksi; dan dukungan yang sesuai dalam masa transisi siswa menuju belajar mandiri.
(5)    Use interdependent learning groups—dorong pertumbuhan kelompok-kelompok belajar, yang memungkinkan terjadinya sharing kelompok, upaya untuk fokus pada tujuan, dan sharing antar kelompok. Guru kemudian berfungsi sebagai coach, fasilitator dan mentor.
(6)    Employ authentic assessment—nilai siswa berdasarkan konteks otentik, yang sesuai dengan metode dan tujuan pembelajaran. Penilaian mestilah dilakukan atas apa yang dipelajari atau dialami siswa, sebagai bagian dari proses evaluasi kemajuan siswa dalam rangka perbaikan proses belajar dan pembelajaran.

Supaya CTL bisa dikembangkan di suatu sekolah, pihak sekolah, orang tua, dan anggota komunitas dimana sekolah berada mestilah berperan serta secara aktif. Seperti digambarkan oleh Newmann dan Wehlage (1997), keberhasilan CTL mesti didukung oleh suatu lingkaran dukungan:  

 
Equilibrium Pendukung CTL

Inovasi Pembelajaran Terpadu
                Terdapat beberapa bentuk penggunaan istilah integrated learning, yang dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan dengan “pembelajaran terintegrasi”. Di tahun 2000-an, istilah integrated learning  mengacu pada desain pedagogis yang mengintegrasikan serangkaian komponen pengajaran (teaching), belajar (learning), dan teknologis (http://edutechwiki.unige.ch/en/Integrated_learning).
                Secara lebih spesifik, integrated learning terdiri atas (1) integrasi berbagai strategi pedagogis yang berbeda-beda; (2) integrasi pengajaran langsung, aktivitas-aktivitas dengan kehadiran siswa maupun tugas-tugas (distance work); (3) penggunaan teknologi (terkait pendidikan) yang beragam; dan (4) integrasi pengetahuan teoritis dengan yang praktis.
                Dalam konteks pembelajaran berbasis komputer dan internet, peneliti CSCL (Computer-supported collaborative learning) mendefinisikan integrated learning sebagai keterjalinan organis (organic interleaving) antara aktivitas-aktivitas yang terkomputerisasi—seperti simulasi, forum, atau latihan—dengan berbagai aktivitas lain yang berbeda seperti ceramah, latihan, kerja lapangan atau field trip. Secara pedagogis, kesemua aktivitas ini terintegrasi sehingga membentuk skenario pembelajaran yang konsisten.
                 Terkait dengan pendidikan bagi orang dewasa (adult education), konsep integrated learning merupakan pembelajaran dengan skenario yang mengintegrasikan antara setting sekolah dan tempat kerja yang real (authentic).  Dalam  hal ini, pembelajaran ditujukan dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan mempersiapkan peserta didik untuk siap bekerja.
                Dalam praktiknya, seperti di Inggris, diadakan program yang disebut ILP (The Integrated Learning Program), yang disponsoi or RSA (Royal Society for the Encouragement of Arts, Manufactures dan Commerce).
                Pada tahun 1999, RSA menemukan bahwa ada ketidaksesuaian antara apa yang dilakukan dengan kurikulum nasional dan tantangan bagi pendidikan di abad teknologi informasi. RSA berkesimpulan bahwa para siswa di Inggris ternyata tidak dipersiapkan, dengan program-program yang ada, bagi kehidupan dewasa mereka. Oleh karena itu, program pendidikan mesti diarahkan bagaimana supaya peserta didik sanggup mandiri dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
                RSA kemudian merumuskan skill atau kompetensi yang mesti dikuasai para siswa: kemampuan belajar, mengelola informasi, berhubungan dengan orang lain, mengelola situasi dan kewarganegaraan (citizenship).
                ILP sendiri tidak menggantikan kurikulum nasional tetapi berperan sebagai alat untuk membantu mewujudkannya. Program ini sendiri dirancang untuk anak usia 11-14 tahun (yang disebut Key Stage 3 = kelas 7-9), namun kebanyakan sekolah hanya menerapkannya untuk siswa kelas 7, sebagai cara untuk membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan sekolah.
                Terdapat beberapa perbedaan antara ILP dengan pembelajaran tradisional. Jika secara tradisional siswa belajar per satuan pelajaran dengan guru yang berbeda-beda setiap pelajarannya, dengan ILP sekolah menyusun timetable tersendiri dimana pembelajaran berlangsung lebih lama dan mata-mata pelajaran digabung (merged)  ke dalam topik-topik secara terpadu seperti “Myself, Life Journeys, and Story Telling”. Mata pelajaran yang paling umum diintegrasikan adalah geografi, kewarganegaraan, dan pendidikan agama (RE=Religious Education).
                Dari segi kemanfaatan, ILP pada dasarnya ditujukan untuk memfasilitasi peserta didik “belajar bagaimana cara belajar (learn about learning atau learn how to learn), mempelajari atau lebih memahami diri sendiri (dengan segala kelebihan dan kekurangannya) dan berlatih untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam dunia nyata.
                Di lapangan, antusiasme guru dalam menerapkan ILP secara umum bagus. Partisipasi atau keterlibatan anak-anak dalam pembelajaran lebih tinggi dan mereka menjadi lebih bertanggung-jawab terhadap kegiatan belajar. Seorang guru bahkan mengungkapkan, “Saking asyiknya belajar, mereka jadi lupa waktu istirahat (Gumley Convent School)”. Sedangkan anak-anak sendiri menyatakan bahwa dengan ILP mereka menjadi terbiasa berpikir mandiri dan tidak hanya menjadi pendengar saja.
                Bagi para orang tua di rumah, ILP menyarankan:
1.       Buat link antara pelajaran akademis dengan hal-hal dalam kehidupan real, seperti dalam kegiatan memasak kue anak belajar matematika, sains dan bahasa secara langsung (menimbang, menentukan komposisi adonan, membaca petunjuk).
2.       Dorong anak untuk membaca surat kabar dan menonton berita. Berikan penjelasan singkat (highlight) mengenai berita terkait dengan pelajaran sejarah, geografi dan politik.
3.       Jangan lupa untuk senantiasa memfasilitasi anak dengan pengetahuan dasar—membaca, menulis dan aritmetika (matematika sederhana)—bahwa ketiganya sangat penting dimana dan kapanpun.
4.       Dorong anak untuk menemukan solusi sendiri terkait dengan masalah yang mereka hadapi, seperti berbagi dengan saudara dan sebagainya.

Sebagai penutup penjelasan mengenai integrated learning, bisa dinyatakan bahwa integrasi mensyaratkan adanya kurikulum yang didasarkan ada situasi-situasi kehidupan nyata dan juga seiring dengan berbagai tantangan aktual dan (diprediksi) akan datang yang dihadapi siswa. Dengan ini, kurikulum pendidikan akan menjadi dinamis, tidak statis dan bisa diterapkan dalam konteks-konteks yang berlainan dimana para pserta didik nantinya beraktivitas atau bekerja (diadaptasi dari Principles of Integrated Learning, International Council for Higher Education, 2005)

Inovasi Pembelajaran Tematik
                Thematic learning atau thematic instruction merupakan metode pembelajaran yang memberikan penekanan pada pemilihan tema spesifik dalam rangka mengajarkan satu atau beberapa konsep. Dalam model pembelajaran ini, berbagai informasi diintegrasikan dan digunakan untuk mendemonstrasikan topik yang dipelajari. (Wikipedia, November, 2011).
                 Dasar filosofis dari pembelajaran tematis adalah bahwa penguasaan pengetahuan (knowledge acquisition) akan efisien di kalangan siswa jika mereka belajar dengan cara yang koheren dan holistik dalam satu konteks dan ketika mereka bisa mengasosiasikan apa yang dipelajari dengan lingkungan dan situasi-situasi real kehidupan. Pembelajaran tematis berusaha untuk menaruh berbagai skill kognitif seperti membaca, berpikir, menghapal, dan menulis dalam konteks situasi kehidupan nyata dengan tujuan utama untuk memfasilitasi adanya eksplorasi kreatif siswa.
 
 
Langkah-langkah dalam pembelajaran tematis meliputi:
1.       Penentuan tema—tema bisa ditentukan oleh guru atau siswa dan bisa dalam bentuk konsep kecil seperti desa, ibu, iklim atau konsep-konsep besar dan terintegrasi seperti ekosistem dan atmosfir.
2.       Integrasi tema dengan kurikulum yang dipakai—mendisain tema secara integratif, yakni antara kurikulum, skill dan konten pengetahuan yang hendak dikuasai siswa.
3.       Mendesain pengajaran dan rencana pendukung—mengorganisasikan berbagai sumber daya dan kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler yang terkait dengan tema, seperti field-trip atau study tour.
4.       Kerja kelompok dan diskusi—siswa didorong untuk berpartisipasi dan mencapai pemahaman bersama mengenai tema yang dipelajari. Kegiatan ini juga membantu siswa mengeksplorasi secara kreatif tema terkait.
                Sejauh ini, pembelajaran tematis merupakan metode yang diakui sangat berhasil dalam mengintegrasikan berbagai konsep dalam kurikulum dengan contoh-contoh dan pengalaman di dunia nyata. Metode ini membuat siswa terbiasa belajar dengan cara memahami (learning with understanding) dan tidak lagi berlajar dengan menghapal (rote-learning) (http://www.4faculty.org).
Inoveasi Pembelajaran PAKEM
                Seiring dengan upaya perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia, Kemendiknas menyusun inovasi pembelajaran yang disebut PAKEM, Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Aktif diartikan sebagai adanya proses pembelajaran dimana guru menciptakan suasana belajar  sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan.  Kreatif berarti guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Efektif berarti proses pembelajaran mestilah mencapai tujuan, sasaran dan kompetensi yang diinginkan. Sedangkan Menyenangkan adalah adanya suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa termotivasi untuk memusatkan perhatiannya pada kegiatan belajar.  sehingga waktu curah perhatiannya tinggi.
Dalam praktiknya, PAKEM bisa dilakukan dengan strategi:
  • Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
  • Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
  • Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
  • Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya. (Kemdiknas.go.id, 2010)
Sedangkan prinsip-prinsip kependidikan yang perlu diingat guru dalam pelaksanaan PAKEM meliputi (1) memahami sifat yang dimiliki anak, seperti rasa ingin tahu dan berimajinasi; (2) mengenal anak secara perorangan mulai dari gaya belajar sampai pada lingkungan keluarga atau sosialnya; (3)  memanfaatkan perilaku anak dalam pembelajaran, seperti dengan bermain, berpasangan, atau berkelompok; (4) mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah; (5)  mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik;  (6) Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar; (7) memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar; dan (8) membedakan antara aktif fisik dan aktif mental dalam rangka memfasilitasi pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak.
                Contoh PAKEM seperti dirilis dalam www.kemendiknas.go.id:

 

 
Kesimpulan
                Dengan melihat berbagai inovasi pembelajaran di atas, dapat ditaik beberapa beberapa kesimpulan:
1.       Semua inovasi pembelajaran, secara paradigmatis, menunjukkan peralihan dari konsep pembelajaran konvensional yang teacher-centred, ceramah, menghapal, anti-teknologis dan sebagainya ke arah paradigma modern yang student-centered, learning by doing, learning with understanding, menggunakan teknologi dan sebagainya.
2.       Terdapat berbagai persamaan di antara pendekatan-pendekatan di atas, seperti perlunya menciptakan pembelajaran yang melibatkan dunia nyata, aktivisme siswa, kontekstualitas, pairing atau grouping siswa, dan sebagainya.
3.       Terkait dengan difusi inovasi kependidikan di Indonesia, konsep PAKEM merupakan contoh dari adaptasi inovasi dengan memanfaatkan berbagai perkembangan kontemporer dalam konsep-konsep kependidikan yang dilakukan oleh Diknas dan didifusikan ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Dalam PAKEM, oleh karena itu, kita bisa melihat unsur quantum learning, pembelajaran kontekstual, integrated learning, maupun thematic learning.
4.       Hanya saja, jika kita melakukan penelitian kualitatif sederhana saja, masih banyak sekolah-sekolah yang memasang banner PAKEM atau di-training tentang konsep PAKEM tetapi masih mengajar dengan cara konvensional.



Referensi
Dryden, Gordon & Jeannette Vos, Revolusi Belajar (Terj. Kaifa), Bandung: Penerbit Kaifa, 2000
Wen, Sayling, Masa Depan Pendidikan, Batam: Lucky Publisher, 2003
DePorter, Bobbi, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (Terj. Alwiyah Abdurrahman), Bandung: Penerbit Kaifa, 2007
Chatib, Munif, Sekolahnya Manusia, Bandung: Penerbit Kaifa, 2009

Sumber software computer dan internet:
Oxford Dictionary, 2011


No comments:

Post a Comment