Difusi
Inovasi dalam Pembelajaran dan Pendekatan PAKEM
Oleh: Khairil Azhar
Pengantar
“1.Dunia sedang bergerak sangat cepat melalui
titik-ubah sejarah yang amat menentukan; 2. Kita hidup di tengah revolusi yang
mengubah cara kita hidup, berkomunikasi, berpikir, dan mencapai kesejahteraan;
3. Revolusi ini akan menentukan cara kita dan anak-anak kita bekerja, mencari
nafkah, dan menikmati hidup secara keseluruhan; 4. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah, hampir segala hal mungkin dilakukan; 5. Sayangnya, di setiap Negara
mungkin hanya ada satu dari setiap lima orang yang tahu benar cara memanfaatkan
gelombang perubahan ini dengan cerdik—bahkan di negara maju sekalipun; 6. Jika
kita tidak mampu mencari alternative penyelesaian atas persoalan tersebut, 20
persen yang termiskin hanya mengecap 2 persen—suatu kondisi yang memastikan
terjadinya kemiskinan, kegagalan sekolah, kejahatan, penyalahgunaan
obat-obatan, keputusasaan, kekerasan dan ledakan social; 7. Oleh karena itu,
kita membutuhkan revolusi belajar untuk mengimbangi revolusi informasi, agar
semua orang dapat menikmati keuntungan bersama dari potensi (sumber daya
manusia) yang luar biasa; 8. Untungnya, revolusi tersebut yang berjalan semakin
cepat juga membantu kita mempelajari segala hal lebih cepat dan lebih baik.” (Gordon
Dryden & Jeannette Vos, 2000, hal. 19)
Kedelapan tesis di atas menjadi
dasar bagi Dryden dan Vos dalam menulis buku best-seller mereka, The Learning Revolution. Dan bagi kita,
di Indonesia, yang bagaimanapun juga tak luput dari gelombang revolusi
teknologi informasi, semua tesis ini berlaku pula.
Sayangnya, tesis kelima dan
keenam menjadi fenomena yang amat mengkhawatirkan, paling tidak jika kita
mengamati secara kasat mata apa yang terjadi di sekitar kita, terutama terkait
dengan bagaimana pembelajaran difasilitasi di sekolah dan institusi pendidikan
lainnya. Artinya, tesis ketujuh dan kedelapan, yang menjadi resep untuk
menyikapi revolusi teknologi informasi, penerapannya tidaklah semudah membalik
telapak tangan.
Dalam diskusi ini, oleh karena
itu, kita akan mencoba melihat revolusi pembelajaran apa yang sudah atau
mungkin dilakukan, supaya anak-anak kita tidak masuk ke dalam kelompok 20 persen
yang termiskin dan hanya mengecap 2 persen saja dari kue kemakmuran dan
kesejahteraan yang ada.
Inovasi Pembelajaran: Mengapa Perlu?
“…
Karena kita anggap guru itu sebagai tenaga kerja murahan untuk meneruskan
pengetahuan. Dia tinggal mengajar. Guru les privat menjadi populer karena
dianggap mengkompensasikan apa-apa yang kurang diajarkan di sekolah—“muatan
ujian”. (Sayling Wen, 2003, hal.102)
Pernyataan Sayling Wen ini,
seperti halnya yang disampaikan oleh banyak sekali orang yang peduli pada pendidikan,
pada dasarnya dialami dan dilakukan oleh sebagian besar guru. “Mengajar” adalah
pekerjaan yang semata-mata diartikan sebagai upaya mentransfer pengetahuan
kepada siswa dan membantu siswa supaya naik kelas, lulus ujian, mendapatkan
ijazah, dan sebagainya. Tetapi apa yang pada akhirnya paling banyak terjadi?
“Jadi, mana mungkin seorang guru membatasi
perannya hanya pada “membantu siswa naik kelas?” Sekarang ini seorang anak
menghabiskan setidaknya sembilan tahun di sekolah dan yang dia peroleh hanyalah
petunjuk untuk melahap buku-buku teks dan lulus ujian. Setelah diwisuda dia
tidak tahu kemana harus menuju. Kalau seorang siswa gagal memahami konsep
merencanakan kehidupannya, sang gurulah yang paling bertanggung jawab. (Sayling
Wen, hal. 110)
Singkat kata, pembelajaran yang
jamak dilakukan di sekolah-sekolah adalah menjadikan anak sebagai “bank” ilmu
pengetahuan, yang harus belajar sebanyak-banyaknya sesuai dengan yang
disyaratkan oleh hal semacam SKL (Standar Kompetensi Lulusan). Tetapi bagaimana
dengan proses pembelajaran, apakah materi yang dipelajari bermanfaat atau
tidak, apakah para siswa mampu mandiri dalam kehidupannya?
Di sinilah kemudian diperlukan
inovasi dalam pendidikan, bahwa berbagai hal tentang pembelajaran, cara pandang
dalam mengajar, kebiasaan-kebiasaan guru, tradisi di sekolah, organisasi
kependidikan, atau media pembelajaran perlu diperbarui. Jika tidak, para siswa
yang hari ini menjadi murid kita sangat mungkin menjadi kelompok termiskin
dalam lingkungan sosialnya, seperti yang dikemukakan Dryden dan Vos di atas.
Inovasi Pembelajaran Quantum
1.
Pengertian
Quantum Learning (QL)
“… proses belajar-mengajar yang terjadi antara
guru dan siswa dapat divisualisasikan dengan membayangkan diri kita berada
dalam ruangan yang gelap gulita. Ketika sebuah senter dinyalakan, selisih waktu
antara munculnya cahaya yang terpantul di dinding dengan saat jari kita menekan
tombol “on” pada senter tersebut sangat
cepat, bahkan hampir bersamaan. … Dalam proses pembelajaran, seharusnya
kecepatan otak siswa menangkap informasi dari guru adalah 1.287 km/jam, sama
dengan kecepatan cahaya yang keluar dari senter dan memantul di dinding. (Bobby
dePorter, sebagaimana disadur dalam Munif Chatib, Sekolahnya Manusia
(Bandung: Kaifa, 2009), hal. 99)
Secara bahasa, “quantum” adalah
interaksi yang mengubah energi menjadi radiasi (pancaran-dahsyat cahaya). “Lompatan
quantum” (quantum leap), yang
dijadikan sebagai dasar etimologis penggunaan istilah “Quantum Learning”, kemudian diartikan sebagai perubahan, perbaikan
atau perkembangan yang serta-merta, besar dan penting (Oxford Dictionary, 2010).
“Quantum learning” oleh karena itu
bisa diartikan sebagai “interaksi” yang terjadi akibat menjalankan kegiatan belajar-mengajar
yang dapat mengubah potensi-diri siswa menjadi pancaran aktualisasi-diri
(penampakan keunggulan dan kelebihan diri).
Dalam aplikasinya, quantum learning terkait dengan “gaya
mengajar” dan “gaya belajar”. Gaya mengajar merupakan strategi transfer
informasi (atau komunikasi) yang
diberikan oleh guru kepada siswa, ketika gaya belajar adalah bagaimana siswa
menerima informasi dan memprosesnya lebih lanjut. Supaya terjadi suatu “quantum leap”, guru-lah yang harus
menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa dan bukan sebaliknya.
Dengan proses quantum ini, guru masuk ke dalam dunia siswa sehingga siswa
merasa nyaman dan tidak berhadapan dengan hal semacam risiko kegagalan dalam
proses belajar.
Salah satu pre-requisite supaya quantum learning bisa terjadi adalah bahwa
guru harus memiliki data yang kongkrit tentang gaya belajar masing-masing
siswa.
Sumber: Sekolahnya Manusia, Munif Chatib, 2009
Menurut
dePorter, apabila seorang guru berhasil masuk ke dalam dunia siswa lewat
penyesuaian gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa, siswa akan rela memberi
“hak mengajar” kepadanya. Konsep “hak mengajar” ini berbeda dari “kewenangan
mengajar”. “
Hak
mengajar” merupakan sesuatu yang diraih oleh guru karena kerja keras untuk
memahami siswa dan apa yang mereka inginkan dan oleh sebab itu memungkinkannya
untuk memfasilitasi quantum learning.
Sedangkan “kewenangan mengajar” semata-mata lisensi mengajar yang mungkin
diberikan pemerintah, lembaga pelatihan dan sebagainya.
1. Quantum
Learning dalam Praktik
Quantum Learning (QL) merupakan model
pembelajaran komprehensif yang seiring antara teori kependidikan dan
implementasi real di ruang kelas. Pendekatan ini mengintegrasikan
praktik-praktik yang memungkinkan konten pembelajaran menjadi bermakna dan
relevan dengan kehidupan para siswa.
QL
pada dasarnya berupaya menghadirkan hal yang menyenangkan dalam kegiatan
belajar-mengajar, dimana siswa mengalami momen-momen keberhasilan (‘Aha’ moments). Dalam pembelajaran, guru
mengetengahkan materi (atau konten) dengan cara-cara yang melibatkan siswa
supaya aktif (energized). Model
pembelajaran ini juga mengintegrasikan antara “belajar” dengan “life-skills”, sehingga para siswa
menjadi pembelajar seumur hidup yang berhasil—yang pada akhirnya membuat siswa
mengikuti pendidikan berdasar kesadaran sendiri.
Konteks
QL dirumuskan dalam model yang disingkat FADE:
Foundation-Atmosphere-Design-Environment (pemetaan lengkap terlampir).
Dalam hal ini diyakini bahwa jika konteks pembelajaran berhasil diciptakan maka
siswa akan terkondisikan sehingga pembelajaran terjadi secara dinamis.
QL
diandaikan terwujud dengan asumsi: (1)
semua orang bisa belajar; (2) setiap orang memiliki gaya belajar berbeda; dan
(3) pembelajaran akan efektif jika menyenangkan, melibatkan dan menantang.
Pembelajaran
selanjutnya dibangun atas 8 Prinsip
Keunggulan: (1) Integrity (kejujuran)—setiap
orang berusaha untuk bersikap apa adanya (authenticity) otentisitas, tulus
dalam berbuat (sincerity), dan
sepenuh hati (wholeness) atau singkat
kata “terdapat kesesuaian antara nilai dengan perbuatan; (2) Failure Leads to Success—paham bahwa kegagalan memberikan
pengetahuan supaya kesuksesan bisa diraih; (3)
Speak with Good Purpose—berbicara positif, jujur, dan langsung sehingga
tidak ada gosip atau komunikasi yang merusak; (4) This is it!—fokus pada kenyataan saat ini dan lakukan yang
terbaik dalam setiap usaha; (5)
Commitment—penuhi janji dan kewajiban, tetap dalam visi, dan pastikan suatu
pekerjaan selesai betapapun sulitnya; (6)
Ownership—berani maju dan bertanggung-jawab atas pekerjaan; (7) Flexibility—terbuka pada perubahan
atau pendekatan baru yang memungkinkan hasil yang diinginkan tercapai; dan (8) Balance—selaras pikiran, tubuh dan
jiwa dengan menyediakan waktu untuk mengembangkan ketiganya.
Kerangka pembelajaran bagi siswa disimpulkan
dalam 5 prinsip belajar: (1) Semua
bicara (segala sesuatu, mulai dari lingkungan dan nada bicara sampai pada
penyampaian materi, mengandung pesan pembelajaran; (2) Semua punya tujuan (apapun yang dilakukan harus memiliki tujuan
yang disengaja); (3) Alami dulu baru
konsepsikan (siswa menemukan makna dan menyimpan konten baru ke dalam long-term memory berdasarkan
keterhubungan dengan skema yang nyata, dimana pembelajaran terfasilitasi dengan
baik ketika siswa mendapatkan cukup informasi dari berbagai sisi sebelum adanya
konseptualisasi secara abstrak); (4)
Hargai setiap usaha (penghargaan atas setiap usaha siswa akan mendorong
mereka lebih giat belajar dan mencoba); (5)
Belajar itu berguna, ayo rayakan keberhasilan! (perayaan atas keberhasilan,
sekecil apapun, memberi umpan-balik untuk kemajuan pembelajaran dan
meningkatkan asosiasi emosional yang positif.
QL
menciptakan atmosfir yang memungkinkan adanya trust, rasa aman dan rasa memiliki. Terkait dengan manajemen kelas,
ketiga hal ini dibangun melalui berbagai pembiasaan, dimana siswa dilatih untuk
fokus dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Pada pagi hari, sebagai
contoh, dibuat kegiatan rutin dimana siswa dikondisikan supaya siap untuk
menempuh kegiatan belajar di hari itu.
Quantum Learning Design Frame terkait dengan presentasi
dan fasilitasi konten pembelajaran yang bertujuan untuk memastikan penguasaan
siswa (mastery): (1) Enroll—guru menggunakan
gerakan-gerakan yang membuat siswa tertarik, menjadi ingin tahu, dan
memperhatikan (interest-curiosity-attention);
(2) Experience—memfasilitasi lahirnya pengalaman belajar yang bisa
diikuti atau dimengerti oleh semua siswa dan pengalaman ini harus mendahului
konseptualisasi abstrak mengenai materi; (3)
Learn and label—konten pembelajaran mesti ter-presentasi dalam kegiatan, tersusun
secara logis atau teratur dan terdefinisikan secara jelas. Sebab dalam
pembelajaran siswa mesti belajar tentang konsep (label), keterampilan berpikir
dan strategi akademis (seperti problem
solving). Setiap konten baru akan diorganisakan oleh siswa ke dalam skema
pengetahuan atau pengalaman mereka sendiri; (4) Demonstrate—siswa diberi kesempatan untuk mendemonstrasikan dan
menggunakan pengetahuan/pengalaman baru mereka; (5) Review and reflect—menggunakan berbagai strategi review yang multi-sensoris dan efektif
dan siswa difasilitasi supaya mampu memproses pengetahuan baru mereka melalui
refleksi; (6) Celebration—proses
pembelajaran yang sudah dilalui, seberapapun kecilnya, mesti dihargai dan
dirayakan. Sebab hal ini akan meneguhkan konten yang sudah dipelajari dan akan
memberikan kepuasan atas keberhasilan, yang pada gilirannya akan memotivasi
siswa untuk pembelajaran berikutnya.
QL mensyaratkan penciptaan lingkungan fisik yang
mendukung sehingga lebih memastikan keberhasilan pembelajaran. Dalam praktiknya,
lingkungan belajar (seperti ruang kelas) membutuhkan adanya penerangan yang
cukup, warna-warna yang mendukung, gambar-gambar yang memberikan pengaruh
positif, tanaman, sarana untuk berkegiatan, dan musik. Di atas semuanya, harus
dipastikan bahwa siswa merasa betah dan senang dengan lingkungan
belajarnya.
Kunci dari QL adalah penciptaan lingkungan
sekolah yang memberdayakan, yang memfasilitasi komunitas-komunitas belajar yang
aktif dan dinamis.
Inovasi Pembelajaran Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsepsi belajar-mengajar
yang membantu guru menghubungkan konten pembelajaran (subject-matter content) dengan situasi dunia nyata dan memotivasi
siswa untuk menghubungkan antara pengetahuan dengan aplikasinya dalam kehidupan,
baik sebagai anggota keluarga, warga negara atau karyawan pada suatu lembaga (www.cew.wisc.edu).
Secara
umum CTL dicirikan dengan adanya:
(1) pembelajaran
yang memungkinkan siswa untuk menguasai konten secara rigorous, yakni
menyeluruh sampai pada aplikasi konten pengetahuan tersebut;
(2) pelibatan
siswa dalam memetakan dan mengkaji masalah, sehingga mereka mengalami
manis-pahitnya situasi dunia nyata, mampu memahami peran setiap pihak yang akan
terpengaruh ketika suatu solusi dibuat, dan mereka mempraktikkan proses
berpikir tingkat tinggi serta analisis masalah karena berpartisipasi dalam
kegiatan yang otentik;
(3) memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar
pengetahuan dan keterampilan dalam konteks yang bermakna seperti di rumah,
komunitas dan tempat kerja;
(4) pembelajaran
dilakukan berdasar pengetahuan yang sudah dimiliki siswa dan menggunakan
pengalaman dan konteks hidup mereka sebagai platform, sehingga mereka
bisa belajar tentang apa yang belum diketahui dengan bersandar pada apa
yang sudah diketahui;
(5) mendorong
siswa untuk menemukan, menggunakan dan mengembangkan gaya belajar sendiri serta
mengevaluasi pencapaian mereka;
(6) mendorong
siswa untuk belajar bersama dan saling menimba ilmu-pengetahuan;
(7) menggunakan
penilaian yang merepresentasikan pengetahuan, keterampilan dan disposisi aktual
yang diminati oleh siswa sendiri.
Berdasarkan
prinsip-prinsip di atas, CTL pada dasarnya “mengharamkan” adanya: (1) metode
pembelajaran ceramah semata; (2) aktivitas yang tanpa tujuan atau sekadar
membuat siswa sibuk; (3) menjawab soal di akhir suatu unit/bab pelajaran; (3)
metode menghapal; (4) perencanaan tujuan yang dirancang sendiri oleh guru; dan
(5) ujian menggunakan kertas dan pensil.
Dalam
aplikasinya, terdapat beberapa strategi yang bisa digunakan dalam CTL:
(1) Problem-based—mulailah pembelajaran dengan simulasi atau masalah nyata. Siswa
kemudian didorong untuk menggunakan skill
berpikir kritis dan pendekatan sistemik untuk menyelesaikan masalah tersebut
serta didorong untuk menganalisis masalah dengan meninjau dari berbagai
aspeknya. Masalah yang biasanya menarik bagi siswa adalah terkait dengan
keluarga, pengalaman belajar, atau komunitas mereka.
(2) Use
multiple contexts—gunakan konteks fisik dan sosial
yang berbeda-beda untuk memperkaya keterampilan siswa, seperti sekolah,
komunitas, atau keluarga.
(3) Draw
upon student diversity—latih siswa
belajar dalam kelompok dan bekerja dalam team-work
karena itu akan membiasakan mereka dengan keberbedaan, meluaskan perspektif dan
membangun skill interpersonal mereka.
(4) Support
self-regulated learning—biasakan
siswa belajar mandiri karena mereka mesti menjadi pembelajar seumur hidup.
Siswa oleh karena itu diberi kesempatan untuk trial and error, waktu dan cara berefleksi; dan dukungan yang
sesuai dalam masa transisi siswa menuju belajar mandiri.
(5) Use
interdependent learning groups—dorong
pertumbuhan kelompok-kelompok belajar, yang memungkinkan terjadinya sharing kelompok, upaya untuk fokus pada
tujuan, dan sharing antar kelompok. Guru kemudian berfungsi sebagai coach, fasilitator dan mentor.
(6) Employ
authentic assessment—nilai siswa berdasarkan konteks
otentik, yang sesuai dengan metode dan tujuan pembelajaran. Penilaian mestilah
dilakukan atas apa yang dipelajari atau dialami siswa, sebagai bagian dari
proses evaluasi kemajuan siswa dalam rangka perbaikan proses belajar dan
pembelajaran.
Supaya CTL
bisa dikembangkan di suatu sekolah, pihak sekolah, orang tua, dan anggota
komunitas dimana sekolah berada mestilah berperan serta secara aktif. Seperti
digambarkan oleh Newmann dan Wehlage (1997), keberhasilan CTL mesti didukung
oleh suatu lingkaran dukungan:
Equilibrium Pendukung CTL
Inovasi Pembelajaran Terpadu
Terdapat beberapa bentuk
penggunaan istilah integrated learning,
yang dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan dengan “pembelajaran terintegrasi”.
Di tahun 2000-an, istilah integrated
learning mengacu pada desain
pedagogis yang mengintegrasikan serangkaian komponen pengajaran (teaching),
belajar (learning), dan teknologis (http://edutechwiki.unige.ch/en/Integrated_learning).
Secara
lebih spesifik, integrated learning
terdiri atas (1) integrasi berbagai strategi pedagogis yang berbeda-beda; (2)
integrasi pengajaran langsung, aktivitas-aktivitas dengan kehadiran siswa
maupun tugas-tugas (distance work); (3) penggunaan teknologi (terkait
pendidikan) yang beragam; dan (4) integrasi pengetahuan teoritis dengan yang
praktis.
Dalam
konteks pembelajaran berbasis komputer dan internet, peneliti CSCL (Computer-supported collaborative learning) mendefinisikan integrated learning sebagai keterjalinan
organis (organic interleaving) antara
aktivitas-aktivitas yang terkomputerisasi—seperti simulasi, forum, atau
latihan—dengan berbagai aktivitas lain yang berbeda seperti ceramah, latihan,
kerja lapangan atau field trip. Secara
pedagogis, kesemua aktivitas ini terintegrasi sehingga membentuk skenario pembelajaran
yang konsisten.
Terkait
dengan pendidikan bagi orang dewasa (adult
education), konsep integrated
learning merupakan pembelajaran dengan skenario yang mengintegrasikan
antara setting sekolah dan tempat
kerja yang real (authentic). Dalam
hal ini, pembelajaran ditujukan dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja dan mempersiapkan peserta didik untuk siap bekerja.
Dalam
praktiknya, seperti di Inggris, diadakan program yang disebut ILP (The Integrated Learning Program), yang
disponsoi or RSA (Royal Society for the
Encouragement of Arts, Manufactures dan Commerce).
Pada
tahun 1999, RSA menemukan bahwa ada ketidaksesuaian antara apa yang dilakukan
dengan kurikulum nasional dan tantangan bagi pendidikan di abad teknologi
informasi. RSA berkesimpulan bahwa para siswa di Inggris ternyata tidak
dipersiapkan, dengan program-program yang ada, bagi kehidupan dewasa mereka.
Oleh karena itu, program pendidikan mesti diarahkan bagaimana supaya peserta
didik sanggup mandiri dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
RSA
kemudian merumuskan skill atau
kompetensi yang mesti dikuasai para siswa: kemampuan belajar, mengelola
informasi, berhubungan dengan orang lain, mengelola situasi dan kewarganegaraan
(citizenship).
ILP
sendiri tidak menggantikan kurikulum nasional tetapi berperan sebagai alat
untuk membantu mewujudkannya. Program ini sendiri dirancang untuk anak usia
11-14 tahun (yang disebut Key Stage 3
= kelas 7-9), namun kebanyakan sekolah hanya menerapkannya untuk siswa kelas 7,
sebagai cara untuk membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan sekolah.
Terdapat
beberapa perbedaan antara ILP dengan pembelajaran tradisional. Jika secara
tradisional siswa belajar per satuan pelajaran dengan guru yang berbeda-beda
setiap pelajarannya, dengan ILP sekolah menyusun timetable tersendiri dimana pembelajaran berlangsung lebih lama dan
mata-mata pelajaran digabung (merged) ke dalam topik-topik secara terpadu seperti
“Myself, Life Journeys, and Story Telling”. Mata pelajaran yang paling umum
diintegrasikan adalah geografi, kewarganegaraan, dan pendidikan agama
(RE=Religious Education).
Dari
segi kemanfaatan, ILP pada dasarnya ditujukan untuk memfasilitasi peserta didik
“belajar bagaimana cara belajar (learn
about learning atau learn how to
learn), mempelajari atau lebih memahami diri sendiri (dengan segala
kelebihan dan kekurangannya) dan berlatih untuk mengatasi berbagai persoalan
yang terjadi dalam dunia nyata.
Di
lapangan, antusiasme guru dalam menerapkan ILP secara umum bagus. Partisipasi
atau keterlibatan anak-anak dalam pembelajaran lebih tinggi dan mereka menjadi
lebih bertanggung-jawab terhadap kegiatan belajar. Seorang guru bahkan
mengungkapkan, “Saking asyiknya belajar, mereka jadi lupa waktu istirahat
(Gumley Convent School)”. Sedangkan anak-anak sendiri menyatakan bahwa dengan
ILP mereka menjadi terbiasa berpikir mandiri dan tidak hanya menjadi pendengar
saja.
Bagi
para orang tua di rumah, ILP menyarankan:
1. Buat link antara
pelajaran akademis dengan hal-hal dalam kehidupan real, seperti dalam kegiatan memasak kue anak belajar matematika,
sains dan bahasa secara langsung (menimbang, menentukan komposisi adonan,
membaca petunjuk).
2. Dorong anak untuk membaca surat kabar dan menonton berita. Berikan
penjelasan singkat (highlight)
mengenai berita terkait dengan pelajaran sejarah, geografi dan politik.
3. Jangan lupa untuk senantiasa memfasilitasi anak dengan pengetahuan
dasar—membaca, menulis dan aritmetika (matematika sederhana)—bahwa ketiganya
sangat penting dimana dan kapanpun.
4. Dorong anak untuk menemukan solusi sendiri terkait dengan masalah
yang mereka hadapi, seperti berbagi dengan saudara dan sebagainya.
Sebagai penutup
penjelasan mengenai integrated learning,
bisa dinyatakan bahwa integrasi mensyaratkan adanya kurikulum yang didasarkan
ada situasi-situasi kehidupan nyata dan juga seiring dengan berbagai tantangan
aktual dan (diprediksi) akan datang yang dihadapi siswa. Dengan ini, kurikulum
pendidikan akan menjadi dinamis, tidak statis dan bisa diterapkan dalam
konteks-konteks yang berlainan dimana para pserta didik nantinya beraktivitas
atau bekerja (diadaptasi dari Principles
of Integrated Learning, International Council for Higher Education, 2005)
Inovasi
Pembelajaran Tematik
Thematic learning atau thematic instruction merupakan metode
pembelajaran yang memberikan penekanan pada pemilihan tema spesifik dalam
rangka mengajarkan satu atau beberapa konsep. Dalam model pembelajaran ini,
berbagai informasi diintegrasikan dan digunakan untuk mendemonstrasikan topik
yang dipelajari. (Wikipedia, November,
2011).
Dasar filosofis dari pembelajaran tematis
adalah bahwa penguasaan pengetahuan (knowledge
acquisition) akan efisien di kalangan siswa jika mereka belajar dengan cara
yang koheren dan holistik dalam satu konteks dan ketika mereka bisa
mengasosiasikan apa yang dipelajari dengan lingkungan dan situasi-situasi real kehidupan. Pembelajaran tematis
berusaha untuk menaruh berbagai skill
kognitif seperti membaca, berpikir, menghapal, dan menulis dalam konteks
situasi kehidupan nyata dengan tujuan utama untuk memfasilitasi adanya
eksplorasi kreatif siswa.
Langkah-langkah dalam pembelajaran tematis
meliputi:
1.
Penentuan
tema—tema bisa ditentukan oleh guru atau
siswa dan bisa dalam bentuk konsep kecil seperti desa, ibu, iklim atau
konsep-konsep besar dan terintegrasi seperti ekosistem dan atmosfir.
2.
Integrasi
tema dengan kurikulum yang dipakai—mendisain
tema secara integratif, yakni antara kurikulum, skill dan konten pengetahuan yang hendak dikuasai siswa.
3.
Mendesain
pengajaran dan rencana pendukung—mengorganisasikan
berbagai sumber daya dan kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler yang terkait dengan
tema, seperti field-trip atau study tour.
4.
Kerja
kelompok dan diskusi—siswa didorong untuk berpartisipasi dan
mencapai pemahaman bersama mengenai tema yang dipelajari. Kegiatan ini juga
membantu siswa mengeksplorasi secara kreatif tema terkait.
Sejauh ini, pembelajaran tematis merupakan
metode yang diakui sangat berhasil dalam mengintegrasikan berbagai konsep dalam
kurikulum dengan contoh-contoh dan pengalaman di dunia nyata. Metode ini
membuat siswa terbiasa belajar dengan cara memahami (learning with understanding) dan tidak lagi berlajar dengan
menghapal (rote-learning) (http://www.4faculty.org).
Inoveasi
Pembelajaran PAKEM
Seiring dengan upaya perbaikan kualitas pendidikan di
Indonesia, Kemendiknas menyusun inovasi pembelajaran yang disebut PAKEM, Pembelajaran
Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Aktif
diartikan sebagai adanya proses pembelajaran dimana guru menciptakan suasana belajar sehingga siswa aktif bertanya,
mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Kreatif
berarti guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi
berbagai tingkat kemampuan siswa. Efektif
berarti proses pembelajaran mestilah mencapai tujuan, sasaran dan kompetensi
yang diinginkan. Sedangkan Menyenangkan
adalah adanya suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa termotivasi
untuk memusatkan perhatiannya pada kegiatan belajar. sehingga waktu curah perhatiannya tinggi.
Dalam praktiknya,
PAKEM bisa dilakukan dengan strategi:
- Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
- Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
- Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
- Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya. (Kemdiknas.go.id, 2010)
Sedangkan prinsip-prinsip kependidikan yang perlu diingat guru dalam
pelaksanaan PAKEM meliputi (1) memahami sifat yang dimiliki anak, seperti
rasa ingin tahu dan berimajinasi; (2) mengenal
anak secara perorangan mulai dari gaya belajar sampai pada lingkungan keluarga
atau sosialnya; (3) memanfaatkan
perilaku anak dalam pembelajaran, seperti dengan bermain, berpasangan, atau
berkelompok; (4) mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah; (5) mengembangkan
ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik; (6)
Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar; (7) memberikan umpan balik yang baik untuk
meningkatkan kegiatan belajar; dan (8) membedakan antara aktif fisik dan
aktif mental dalam rangka memfasilitasi pertumbuhan fisik dan perkembangan
mental anak.
Contoh
PAKEM seperti dirilis dalam www.kemendiknas.go.id:
Kesimpulan
Dengan melihat berbagai inovasi
pembelajaran di atas, dapat ditaik beberapa beberapa kesimpulan:
1. Semua inovasi pembelajaran, secara paradigmatis, menunjukkan
peralihan dari konsep pembelajaran konvensional yang teacher-centred, ceramah,
menghapal, anti-teknologis dan sebagainya ke arah paradigma modern yang student-centered, learning by doing, learning
with understanding, menggunakan teknologi dan sebagainya.
2. Terdapat berbagai persamaan di antara pendekatan-pendekatan di
atas, seperti perlunya menciptakan pembelajaran yang melibatkan dunia nyata,
aktivisme siswa, kontekstualitas, pairing
atau grouping siswa, dan sebagainya.
3. Terkait dengan difusi inovasi kependidikan di Indonesia, konsep
PAKEM merupakan contoh dari adaptasi inovasi dengan memanfaatkan berbagai
perkembangan kontemporer dalam konsep-konsep kependidikan yang dilakukan oleh
Diknas dan didifusikan ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Dalam PAKEM,
oleh karena itu, kita bisa melihat unsur quantum
learning, pembelajaran kontekstual, integrated
learning, maupun thematic learning.
4. Hanya saja, jika kita melakukan penelitian kualitatif sederhana
saja, masih banyak sekolah-sekolah yang memasang banner PAKEM atau di-training
tentang konsep PAKEM tetapi masih mengajar dengan cara konvensional.
Referensi
Dryden,
Gordon & Jeannette Vos, Revolusi Belajar (Terj. Kaifa),
Bandung: Penerbit Kaifa, 2000
Wen,
Sayling, Masa Depan Pendidikan, Batam: Lucky Publisher, 2003
DePorter,
Bobbi, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan
(Terj. Alwiyah Abdurrahman), Bandung: Penerbit Kaifa, 2007
Chatib,
Munif, Sekolahnya Manusia, Bandung: Penerbit Kaifa, 2009
Sumber software computer dan internet:
Oxford Dictionary, 2011
No comments:
Post a Comment