Wednesday, June 20, 2012


Pendidikan Anak dan Mewaspadai Tayangan Media
Khairil Azhar

          Beberapa tahun yang lalu, kita menyaksikan dan mendengar betapa tayangan acara “Smack Down” menghasilkan beberapa korban anak-anak. Tak lama setelah itu, seri kartun Naruto, walau belum separah dampak acara”Smack Down”, juga menuai korban. Dan jika disigi lebih jauh lagi, tayangan beraroma kekerasan, dengan bumbu kegagahan dan patriotisme, kealotan otot dan ketegaran nyali, telah melahirkan korban yang tak sedikit sebenarnya.
Bahkan lebih mengenaskan dari sekadar cacat fisik, akibat yang bersifat psikis pada kenyataannya jauh lebih memprihatinkan. Bukanlah hal sepele misalnya jika sehari-hari kita menyaksikan betapa seorang anak lebih senang bertarung ala jagoan dengan bapaknya ketimbang mengobrol tentang keindahan bunga teratai atau musik tradisional suatu daerah. 
Begitu juga halnya, tak banyak anak yang mampu melipat kertas dan melahirkan karya origami yang bagus selancar dia merengek minta dibelikan mainan jadi. Sulit sekali ditemukan ada anak yang berpikir meramu kaleng bekas dan menghasilkan mobil-mobilan sendiri.
Meminta dan membeli oleh karena itu sudah menjadi budaya yang tak mudah diubah. Bagaimana jadinya ketika uang tak lagi cukup? Apakah mereka akan kita biarkan mencuri atau merampas milik orang lain?
Ada satu teori mengatakan betapa manusia amat mudah mengidap kesadaran yang salah tentang apa yang sebenanya dibutuhkannya. Dan itu adalah akibat dari betapa manusia teramat mudah dipengaruhi. Manusia gampang sekali dibuat seolah-olah telah berpikir benar dan mengambil keputusan benar, ketika pada kenyataannya pikiran dan keputusan itu tidaklah benar atau tidak sepenuhnya benar.
Dalam proses penanaman pengaruh ini manusia seolah melihat sesuatu itu logis, masuk akal, ketika pada kenyataannya ada ketergesaan sehingga menyingkirkan akal sehat.
Sebagai contoh, setiap hari sebagian kita menonton acara sinetron yang dalam bahasa Inggris disebut dengan bernuansa negatif sebagai soap opera atau opera sabun. Bagi kalangan tertentu, terutama ibu-ibu atau anak dan remaja putri, biasa sekali terjadi tanpa pikir panjang menganggap semua yang diketengahkan dalam acara-acara itu layak dan selanjutnya ditiru.
Ada juga tayangan yang menakutkan atau menakut-nakuti atas nama agama, dan itu dianggap sebagai ajaran agama itu sendiri. Hal ini umpamanya kita lihat dalam berbagai acara yang berjuluk ”reality show” atau film dan sinetron horor yang dibuat-buat. Padahal, pikiran mereka yang terpengaruh itu telah menjadi tidak sadar akan ajaran agama yang sesungguhnya. Bahkan dalam konteks ajaran Islam umpamanya, seseorang yang mempercayai hal itu bisa jatuh ke dalam perbuatan syirik. 
Media massa, oleh karena itu mestilah tetap dipandang sebagai instrumen komunikasi, yang pada dasarnya berlaku sebagai penyampai gagasan, pesan dan hiburan. Namun di saat yang sama kita harus waspada bahwa media massa juga bisa menjadi instrumen ekonomi atau mesin uang dimana tentu saja akan berorientasi pada keuntungan dan menghindari kerugian.
Dan jika seperti ini, isu-isu moral, kultural atau agama sekalipun akan menjadi komoditas yang diperjual-belikan. Oleh karena itu kita harus peka dan berusaha menghindarinya. Katakanlah bahwa kita memberinya semacam hukuman publik dengan tidak mengaksesnya.
Mengenai betapa perlunya kita secara aktif memilihkan tontonan atau bacaan yang tepat buat putra-putra kita, ada sebuah cerita menarik dari seorang sineas terkemuka Indonesia saat ini.
Di sebuah media massa, Garin Nugroho, salah satu sutradara  kondang Indonesia, pernah mengutip tentang percakapan yang terjadi antara seorang ayah dan anaknya. Sang ayah, seorang sutradara juga dan menjadi teman Garin Nugroho, konon meminta anaknya untuk tidak menonton acara televisi tertentu, meskipun acara itu merupakan karya ayahnya sendiri.
Si anak tentu saja penasaran. Kenapa? Bukankah semestinya sang ayah bangga jika anaknya mengagumi karyanya? Apalagi jika sang anak kemudian mengajak teman-eman atau tetangganya untk menonton juga, bukankah itu akan lebih menguntungkan bagi ayahnya?
Ayah ini, di luar kepentingannya akan keuntungan bisnis, ternyata memiliki kesadaran yang bagus tentang masa depan anaknya sendiri. Dia tahu, betapa acara-acara tertentu, meskipun tak tertutup kemungkinan dia ikut membuatnya, tak pantas atau tak layak ditonton oleh anaknya.
Itu berarti, sang ayah, meskipun sayangnya dia mencari uang dengan membuat sinetron atau film yang kenyataannya tidak mendidik masih memiliki akal sehat. Bahkan secara sadar dia kemudian menggunakannya dengan mengingatkan orang-orang di dekatnya supaya bersikap selektif dalam memilih tayangan telivisi.
Ayah ini katakanlah dengan cerdas mampu mendidik anaknya dengan menerapkan prinsip yang sudah mulai luntur di tengah budaya konsumtif kita, bahwa  emas itu haruslah dibedakan dari loyang, bahwa tak semua yang menarik itu pantas dikonsumsi oleh anaknya.
Bagaimana dengan kita?
Sebuah hadis Rasulullah yang sudah menjadi adagium umum menyatakan “Manusia itu, siapapun dia, tak luput dari kesalahan dan kealpaan.” Kesadaran kita memang sulit untuk selalu konsisten. Hati kita amat mudah terbolak-balik.
Namun demikian, setidaknya jika kita bisa selalu berlatih menggunakan akal sehat, terutama ketika kita hendak mengambil keputusan yang berkaian dengan masa depan anak-anak kita, haruslah ada proses pendidikan terus-menerus di rumah tangga kita yang mengajarkan bahwa tidak semua yang menarik atau populer itu baik.
Harus ada kesadaran bahwa adakalanya sebuah tontonan justru membuat kita, anak atau isteri menjadi berprilaku negatif. Mungkin saja karena selalu menyaksikan betapa para aktris atau aktor baik dalam film, sinetron atau infotainment tampaknya hidup sangat enak dan mudah lalu meniru perilaku mereka dan menjadi malas. Padahal pada kenyataannya hidup ini akan lebih indah dan nikmat jika diisi dengan kerja keras dan tantangan perjuangan dengan cara kita masing-masing.

No comments:

Post a Comment