Pendidikan Anak dan Mewaspadai
Tayangan Media
Khairil Azhar
Beberapa tahun yang lalu, kita
menyaksikan dan mendengar betapa tayangan acara “Smack Down”
menghasilkan beberapa korban anak-anak. Tak lama setelah itu, seri kartun
Naruto, walau belum separah dampak acara”Smack Down”, juga menuai korban. Dan jika
disigi lebih jauh lagi, tayangan beraroma kekerasan, dengan bumbu kegagahan dan
patriotisme, kealotan otot dan ketegaran nyali, telah melahirkan korban yang
tak sedikit sebenarnya.
Bahkan lebih mengenaskan dari sekadar cacat fisik, akibat yang bersifat
psikis pada kenyataannya jauh lebih memprihatinkan. Bukanlah hal sepele
misalnya jika sehari-hari kita menyaksikan betapa seorang anak lebih senang
bertarung ala jagoan dengan bapaknya ketimbang mengobrol tentang keindahan bunga
teratai atau musik tradisional suatu daerah.
Begitu juga halnya, tak banyak anak yang mampu melipat kertas dan
melahirkan karya origami yang bagus selancar dia merengek minta dibelikan
mainan jadi. Sulit sekali ditemukan ada anak yang berpikir meramu kaleng bekas
dan menghasilkan mobil-mobilan sendiri.
Meminta dan membeli oleh karena itu sudah menjadi budaya yang tak mudah
diubah. Bagaimana jadinya ketika uang tak lagi cukup? Apakah mereka akan kita
biarkan mencuri atau merampas milik orang lain?
Ada satu teori mengatakan betapa manusia amat mudah mengidap kesadaran
yang salah tentang apa yang sebenanya dibutuhkannya. Dan itu adalah akibat dari
betapa manusia teramat mudah dipengaruhi. Manusia gampang sekali dibuat seolah-olah
telah berpikir benar dan mengambil keputusan benar, ketika pada kenyataannya pikiran
dan keputusan itu tidaklah benar atau tidak sepenuhnya benar.
Dalam proses penanaman pengaruh ini manusia seolah melihat sesuatu itu
logis, masuk akal, ketika pada kenyataannya ada ketergesaan sehingga menyingkirkan
akal sehat.
Sebagai contoh, setiap hari sebagian kita menonton acara sinetron yang
dalam bahasa Inggris disebut dengan bernuansa negatif sebagai soap opera
atau opera sabun. Bagi kalangan tertentu, terutama ibu-ibu atau anak dan remaja
putri, biasa sekali terjadi tanpa pikir panjang menganggap semua yang
diketengahkan dalam acara-acara itu layak dan selanjutnya ditiru.
Ada juga tayangan yang menakutkan atau menakut-nakuti atas nama agama,
dan itu dianggap sebagai ajaran agama itu sendiri. Hal ini umpamanya kita lihat
dalam berbagai acara yang berjuluk ”reality show” atau film dan sinetron horor
yang dibuat-buat. Padahal, pikiran mereka yang terpengaruh itu telah menjadi
tidak sadar akan ajaran agama yang sesungguhnya. Bahkan dalam konteks ajaran
Islam umpamanya, seseorang yang mempercayai hal itu bisa jatuh ke dalam
perbuatan syirik.
Media massa, oleh karena itu mestilah tetap dipandang sebagai instrumen
komunikasi, yang pada dasarnya berlaku sebagai penyampai gagasan, pesan dan
hiburan. Namun di saat yang sama kita harus waspada bahwa media massa juga bisa
menjadi instrumen ekonomi atau mesin uang dimana tentu saja akan berorientasi
pada keuntungan dan menghindari kerugian.
Dan jika seperti ini, isu-isu moral, kultural atau agama sekalipun akan
menjadi komoditas yang diperjual-belikan. Oleh karena itu kita harus peka dan berusaha
menghindarinya. Katakanlah bahwa kita memberinya semacam hukuman publik dengan
tidak mengaksesnya.
Mengenai betapa perlunya kita secara aktif memilihkan tontonan atau
bacaan yang tepat buat putra-putra kita, ada sebuah cerita menarik dari seorang
sineas terkemuka Indonesia saat ini.
Di sebuah media massa, Garin Nugroho, salah satu sutradara kondang Indonesia, pernah mengutip tentang
percakapan yang terjadi antara seorang ayah dan anaknya. Sang ayah, seorang
sutradara juga dan menjadi teman Garin Nugroho, konon meminta anaknya untuk
tidak menonton acara televisi tertentu, meskipun acara itu merupakan karya
ayahnya sendiri.
Si anak tentu saja penasaran. Kenapa? Bukankah semestinya sang ayah
bangga jika anaknya mengagumi karyanya? Apalagi jika sang anak kemudian
mengajak teman-eman atau tetangganya untk menonton juga, bukankah itu akan
lebih menguntungkan bagi ayahnya?
Ayah ini, di luar kepentingannya akan keuntungan bisnis, ternyata
memiliki kesadaran yang bagus tentang masa depan anaknya sendiri. Dia tahu,
betapa acara-acara tertentu, meskipun tak tertutup kemungkinan dia ikut
membuatnya, tak pantas atau tak layak ditonton oleh anaknya.
Itu berarti, sang ayah, meskipun sayangnya dia mencari uang dengan
membuat sinetron atau film yang kenyataannya tidak mendidik masih memiliki akal
sehat. Bahkan secara sadar dia kemudian menggunakannya dengan mengingatkan
orang-orang di dekatnya supaya bersikap selektif dalam memilih tayangan
telivisi.
Ayah ini katakanlah dengan cerdas mampu mendidik anaknya dengan
menerapkan prinsip yang sudah mulai luntur di tengah budaya konsumtif kita,
bahwa emas itu haruslah dibedakan dari
loyang, bahwa tak semua yang menarik itu pantas dikonsumsi oleh anaknya.
Bagaimana dengan kita?
Sebuah hadis Rasulullah yang sudah menjadi adagium umum menyatakan “Manusia itu, siapapun dia, tak luput dari
kesalahan dan kealpaan.” Kesadaran kita memang sulit untuk selalu
konsisten. Hati kita amat mudah terbolak-balik.
Namun demikian, setidaknya jika kita bisa selalu berlatih menggunakan
akal sehat, terutama ketika kita hendak mengambil keputusan yang berkaian
dengan masa depan anak-anak kita, haruslah ada proses pendidikan terus-menerus
di rumah tangga kita yang mengajarkan bahwa tidak semua yang menarik atau
populer itu baik.
Harus ada kesadaran bahwa adakalanya sebuah tontonan justru membuat
kita, anak atau isteri menjadi berprilaku negatif. Mungkin saja karena selalu
menyaksikan betapa para aktris atau aktor baik dalam film, sinetron atau
infotainment tampaknya hidup sangat enak dan mudah lalu meniru perilaku mereka
dan menjadi malas. Padahal pada kenyataannya hidup ini akan lebih indah dan
nikmat jika diisi dengan kerja keras dan tantangan perjuangan dengan cara kita
masing-masing.
No comments:
Post a Comment