Internet dan Pembelajaran (Bagian 1)
Oleh: Khairil Azhar
Oleh: Khairil Azhar
Pendahuluan: Digital Age, Digital
Natives, dan Digital Divide
…. Today’s digital kids think of
information and communication technology (ICT) as something akin to oxygen:
they expect it, it’s what they breathe, and it’s how they live. They use ICT to
meet, play, date, and learn. It’s an integral part of their social life; it’s
how they acknowledge each other and form their personal identification.
Furthermore, ICT to some degree has been supporting their learning activities
since their first Web search and surf years ago. (J.S. Brown, 2009)
Jika
kita sebagai guru, hari-hari ini, berbicara tentang penggunaan internet bersama
siswa kelas 5, 6 dan seterusnya, boleh jadi kita harus mengaku kalah. Di rumah,
tidak lama umpamanya bagi anak-anak kita untuk mempelajari suatu jenis game
baru untuk bisa memainkannya dan menjadi mahir. Mereka bahkan relatif tidak
perlu membaca manual atau mengikuti kursus seperti zaman dahulu atau
bolak-balik membuka kamus untuk mempelajari berbagai istilah teknis yang
digunakan.
Seperti kata J.S.
Brown di atas, komputer dalam berbagai bentuknya ditambah internet sudah
menjadi oksigen bagi anak-anak dan murid kita saat ini, bahwa mereka hidup
dalam zaman yang disebut sebagai digital age.
Bahkan
generasi yang terlahir dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir disebut sebagai digital
natives, anak-anak yang berbeda dari generasi sebelumnya karena lahir dan
besar dengan remote, mouse, keyboard dan sebagainya. Mereka lahir
dan besar dalam lingkungan yang digitalized, serba teknologis dan serba
otomatis. Generasi ini lahir dan besar dengan berbagai kemudahan untuk
mengakses informasi, mengetahui atau mengenal hal-hal yang bagi generasi
sebelumnya sulit dicapai atau bahkan mustahil.
Itu sebabnya,
sebagai contoh, para digital natives ini mampu mengeksploitasi akses dan
aset teknologi informasi itu untuk mengubah wajah negara bahkan dunia mereka. Perubahan
sosial di Timur tengah, yang kini dikenal sebagai the Arab spring,
dimungkinkan oleh penguasaan mereka atas media yang super canggih ini (N. Shah
& Fieke Jansen, 2011).
Jika demikian halnya, bisa dibayangkan betapa
membosankan bagi para digital natives ini belajar hanya dengan kapur
(atau spidol) dan papan tulis, mendengarkan guru berbicara—yang seringkali
seperti tukang obat jalanan yang minta dikasihani. Jangan disalahkan,
umpamanya, jika para murid terlihat susah diatur, karena yang salah justru
kita, para guru yang “kuno”, karena
gagal menyesuaikan cara mengajar dengan cara belajar yang diminati atau
dimiliki oleh siswa (A.N. Franzoni & Said Assar, 2009).
Jika seorang guru
betul-betul tidak memiliki keinginan dan kemampuan menggunakan ICT, maka dia
terkena “penyakit” yang disebut digital divide, ketertinggalan dari
orang-orang dan lingkungannya dalam hal teknologi komputer dan informasi dan
bisa jadi menjadi resisten terhadap perubahan zaman.
Secara ringkas,
perubahan yang terkait dengan siswa, guru, cara belajar, dan sebagainya dengan
adanya teknologi informasi berupa internet dapat dilihat seperti diilustrasikan
oleh J.S. Brown berikut ini. Sedangkan
pembahasan secara detil akan diberikan pada bagian berikutnya.
Sekilas Mengenai Internet
Kalau
kita berada di Pusat Elektronik Mangga Dua, berdiri di dekat jejalan orang yang
hendak membeli komputer atau laptop, tidak perlu merasa heran (tentu saja kalau
paham) jika ada yang berkata, “Engkoh, saya laptopnya yang bisa internetan,
ya?” Kalau dikelompokkan, maka konsumen ini termasuk dalam kategori yang tidak
paham dengan hardware (perangkat keras) komputer. Semestinya dia harus
bilang, “Saya ingin laptop yang lengkap dengan modem, LAN dan wireless network
adapter.”
Di
kalangan guru-guru sendiri—yang semestinya diasumsikan literate (melek)
dengan pengetahuan minimal tentang ICT sesuai dengan persyaratan penerimaan
guru baru—sering ada keluhan, “Laptop saya kok nggak bisa internetan, ya? Apa megabyte-nya
kurang?” Padahal, jika semua perangkat
keras yang dibutuhkan untuk koneksi internet sudah terpasang, dia mesti bilang
“Apa ada masalah, ya, dengan programnya? Mungkin driver-nya harus
di-install ulang.”
Bahkan
sekitar dua bulan yang lalu, salah satu pemakalah menemukan bahwa ada guru yang
belum bisa membuat alamat email, mengirim email dan melampirkan file
(attachment). Ketika ditanya lagi, teman ini mengaku hanya bisa facebook-an
dan membaca berita gosip di www.yahoo.com yang kebetulan menjadi homepage yang
di-set pada browser yang digunakan.
Istilah-istilah
teknis yang disampaikan dalam ilustrasi di atas mungkin tidak dibutuhkan di setiap
saat bagi seorang guru. Namun pengetahuan minimal, khususnya jika hendak
menggunakan komputer dan internet sebagai media pembelajaran, amat perlu
dimiliki. Seorang guru akan memiliki rasa percaya diri yang lebih baik,
umpamanya, ketika tidak terlihat “gagap teknologi” di hadapan para siswa.
Salah
satu definisi yang paling umum tentang internet sebagai sistem informasi global
berbasis komputer, dimana terdapat komputer-komputer yang terkoneksi satu sama
lain (Microsoft Encarta, 2004). Seperti sistem komputer pada umumnya, sistem
internet dimungkinkan oleh adanya hardware (perangkat keras) dan software
(perangkat lunak) yang berfungsi untuk memproses data atau informasi.
Pada
satu komputer, hardware khusus yang memungkinkan koneksi internet adalah
adannya perangkat yang menyambungkan komputer tersebut dengan komputer lainnya
melalui penyedia jasa internet (internet
provider) di seluruh dunia. Perangkat ini bisa jadi berbentuk modem (jika
akses langsung) atau perangkat jaringan seperti wireless atau cable
adapter jika menggunakan LAN (Local Arena Network) seperti di SIT
Fajar Hidayah.
Topologi Internet
Sedangkan software pada
komputer yang digunakan untuk “internetan”, di samping program untuk sistem
operasi komputer seperti Windows atau Linux, mesti terdapat program aplikasi
seperti Internet Explorer, Mozilla Firefox, Safari dan sebagainya. Program
aplikasi yang disebut browser ini berfungsi untuk memungkinkan sebuah komputer
untuk menampilkan dokumen berupa teks, gambar, grafis, suara, video, dan
animasi.
Gambar 3: Contoh Browser dan Situs
Internet
Data dan
informasi dalam dunia internet, yang hendak diakses oleh netter ditaruh
dalam wahana virtual yang disebut situs atau website. Dalam penamaannya,
kita bisa melihat seperti www.teknologipendidikan.com. Data dan informasi ini disediakan oleh
pemilik situs secara free atau berbayar.
Penggunaan Internet
Saat
ini, penggunaan internet tidak lagi terbatas sebagai media untuk mendapatkan
data atau informasi secara pasif semata. Seperti disinggung di atas, bagi para digital
natives, umpamanya, internet sudah menjadi way of life, bagian yang
tidak terpisahkan dari hidup mereka. Dalam hal komunikasi, misalnya, internet
merangkum fungsi telepon (komunikasi suara), telegram (huruf), dan tatap muka.
Dengan program seperti skype, seorang guru di Fajar Hidayah bisa
berbicara dan bertatap muka dengan seorang siswa di Kyoto, Jepang. Pada saat
yang sama, sang guru juga bisa mengoreksi pekerjaan siswa, membuat revisi dan
tersenyum.
Bagi
para digital natives internet menjadi apa yang disebut sebagai virtual
world, satu dunia tersendiri seperti halnya dunia nyata, the real world,
di mana mereka membangun komunitas, membuat ikatan pertemanan, berbagi perasaan
dan pikiran, atau bahkan wahana untuk berperang antar pribadi atau kelompok dan
melakukan kejahatan. Internet juga menjadi wahana untuk entertainment seperti
game dan sebagainya.
Bagi
kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan pemerintah, internet
merupakan media yang murah bahkan gratis untuk mengetengahkan gagasan dan
membangun jaringan serta beraksi untuk mewujudkan cita-cita mereka.
Singkat
kata, internet telah menjadi dunia tersendiri di mana berbagai hal yang tak
terbayangkan sebelumnya bisa dibuat dan dilakukan.
Gambar 4: Internet Hari Ini
No comments:
Post a Comment