Tuesday, June 19, 2012


Internet dan Pembelajaran (Bagian 1)
Oleh: Khairil Azhar

Pendahuluan: Digital Age, Digital Natives, dan Digital Divide
…. Today’s digital kids think of information and communication technology (ICT) as something akin to oxygen: they expect it, it’s what they breathe, and it’s how they live. They use ICT to meet, play, date, and learn. It’s an integral part of their social life; it’s how they acknowledge each other and form their personal identification. Furthermore, ICT to some degree has been supporting their learning activities since their first Web search and surf years ago. (J.S. Brown, 2009)

                Jika kita sebagai guru, hari-hari ini, berbicara tentang penggunaan internet bersama siswa kelas 5, 6 dan seterusnya, boleh jadi kita harus mengaku kalah. Di rumah, tidak lama umpamanya bagi anak-anak kita untuk mempelajari suatu jenis game baru untuk bisa memainkannya dan menjadi mahir. Mereka bahkan relatif tidak perlu membaca manual atau mengikuti kursus seperti zaman dahulu atau bolak-balik membuka kamus untuk mempelajari berbagai istilah teknis yang digunakan.
Seperti kata J.S. Brown di atas, komputer dalam berbagai bentuknya ditambah internet sudah menjadi oksigen bagi anak-anak dan murid kita saat ini, bahwa mereka hidup dalam zaman yang disebut sebagai digital age.
                Bahkan generasi yang terlahir dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir disebut sebagai digital natives, anak-anak yang berbeda dari generasi sebelumnya karena lahir dan besar dengan remote, mouse, keyboard dan sebagainya. Mereka lahir dan besar dalam lingkungan yang digitalized, serba teknologis dan serba otomatis. Generasi ini lahir dan besar dengan berbagai kemudahan untuk mengakses informasi, mengetahui atau mengenal hal-hal yang bagi generasi sebelumnya sulit dicapai atau bahkan mustahil.
Itu sebabnya, sebagai contoh, para digital natives ini mampu mengeksploitasi akses dan aset teknologi informasi itu untuk mengubah wajah negara bahkan dunia mereka. Perubahan sosial di Timur tengah, yang kini dikenal sebagai the Arab spring, dimungkinkan oleh penguasaan mereka atas media yang super canggih ini (N. Shah & Fieke Jansen, 2011).
 Jika demikian halnya, bisa dibayangkan betapa membosankan bagi para digital natives ini belajar hanya dengan kapur (atau spidol) dan papan tulis, mendengarkan guru berbicara—yang seringkali seperti tukang obat jalanan yang minta dikasihani. Jangan disalahkan, umpamanya, jika para murid terlihat susah diatur, karena yang salah justru kita, para guru  yang “kuno”, karena gagal menyesuaikan cara mengajar dengan cara belajar yang diminati atau dimiliki oleh siswa (A.N. Franzoni & Said Assar, 2009).
Jika seorang guru betul-betul tidak memiliki keinginan dan kemampuan menggunakan ICT, maka dia terkena “penyakit” yang disebut digital divide, ketertinggalan dari orang-orang dan lingkungannya dalam hal teknologi komputer dan informasi dan bisa jadi menjadi resisten terhadap perubahan zaman.
Secara ringkas, perubahan yang terkait dengan siswa, guru, cara belajar, dan sebagainya dengan adanya teknologi informasi berupa internet dapat dilihat seperti diilustrasikan oleh J.S. Brown berikut ini.  Sedangkan pembahasan secara detil akan diberikan pada bagian berikutnya.

 
 
Sekilas Mengenai Internet
                Kalau kita berada di Pusat Elektronik Mangga Dua, berdiri di dekat jejalan orang yang hendak membeli komputer atau laptop, tidak perlu merasa heran (tentu saja kalau paham) jika ada yang berkata, “Engkoh, saya laptopnya yang bisa internetan, ya?” Kalau dikelompokkan, maka konsumen ini termasuk dalam kategori yang tidak paham dengan hardware (perangkat keras) komputer. Semestinya dia harus bilang, “Saya ingin laptop yang lengkap dengan modem, LAN dan wireless network adapter.”
                Di kalangan guru-guru sendiri—yang semestinya diasumsikan literate (melek) dengan pengetahuan minimal tentang ICT sesuai dengan persyaratan penerimaan guru baru—sering ada keluhan, “Laptop saya kok nggak bisa internetan, ya? Apa megabyte-nya kurang?”  Padahal, jika semua perangkat keras yang dibutuhkan untuk koneksi internet sudah terpasang, dia mesti bilang “Apa ada masalah, ya, dengan programnya? Mungkin driver-nya harus di-install ulang.”
                Bahkan sekitar dua bulan yang lalu, salah satu pemakalah menemukan bahwa ada guru yang belum bisa membuat alamat email, mengirim email dan melampirkan file (attachment). Ketika ditanya lagi, teman ini mengaku hanya bisa facebook-an dan membaca berita gosip di www.yahoo.com yang kebetulan menjadi homepage yang di-set pada browser yang digunakan.
                Istilah-istilah teknis yang disampaikan dalam ilustrasi di atas mungkin tidak dibutuhkan di setiap saat bagi seorang guru. Namun pengetahuan minimal, khususnya jika hendak menggunakan komputer dan internet sebagai media pembelajaran, amat perlu dimiliki. Seorang guru akan memiliki rasa percaya diri yang lebih baik, umpamanya, ketika tidak terlihat “gagap teknologi” di hadapan para siswa.
                Salah satu definisi yang paling umum tentang internet sebagai sistem informasi global berbasis komputer, dimana terdapat komputer-komputer yang terkoneksi satu sama lain (Microsoft Encarta, 2004). Seperti sistem komputer pada umumnya, sistem internet dimungkinkan oleh adanya hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak) yang berfungsi untuk memproses data atau informasi.
                Pada satu komputer, hardware khusus yang memungkinkan koneksi internet adalah adannya perangkat yang menyambungkan komputer tersebut dengan komputer lainnya melalui  penyedia jasa internet (internet provider) di seluruh dunia. Perangkat ini bisa jadi berbentuk modem (jika akses langsung) atau perangkat jaringan seperti wireless atau cable adapter jika menggunakan LAN (Local Arena Network) seperti di SIT Fajar Hidayah.
 
 Topologi Internet

Sedangkan software pada komputer yang digunakan untuk “internetan”, di samping program untuk sistem operasi komputer seperti Windows atau Linux, mesti terdapat program aplikasi seperti Internet Explorer, Mozilla Firefox, Safari dan sebagainya. Program aplikasi yang disebut browser ini berfungsi untuk memungkinkan sebuah komputer untuk menampilkan dokumen berupa teks, gambar, grafis, suara, video, dan animasi. 

 
 Gambar 3: Contoh Browser dan Situs Internet

Data dan informasi dalam dunia internet, yang hendak diakses oleh netter ditaruh dalam wahana virtual yang disebut situs atau website. Dalam penamaannya, kita bisa melihat seperti www.teknologipendidikan.com. Data dan informasi ini disediakan oleh pemilik situs secara free atau berbayar.

Penggunaan Internet
                Saat ini, penggunaan internet tidak lagi terbatas sebagai media untuk mendapatkan data atau informasi secara pasif semata. Seperti disinggung di atas, bagi para digital natives, umpamanya, internet sudah menjadi way of life, bagian yang tidak terpisahkan dari hidup mereka. Dalam hal komunikasi, misalnya, internet merangkum fungsi telepon (komunikasi suara), telegram (huruf), dan tatap muka. Dengan program seperti skype, seorang guru di Fajar Hidayah bisa berbicara dan bertatap muka dengan seorang siswa di Kyoto, Jepang. Pada saat yang sama, sang guru juga bisa mengoreksi pekerjaan siswa, membuat revisi dan tersenyum.
                Bagi para digital natives internet menjadi apa yang disebut sebagai virtual world, satu dunia tersendiri seperti halnya dunia nyata, the real world, di mana mereka membangun komunitas, membuat ikatan pertemanan, berbagi perasaan dan pikiran, atau bahkan wahana untuk berperang antar pribadi atau kelompok dan melakukan kejahatan. Internet juga menjadi wahana untuk entertainment seperti game dan sebagainya.
Bagi kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan pemerintah, internet merupakan media yang murah bahkan gratis untuk mengetengahkan gagasan dan membangun jaringan serta beraksi untuk mewujudkan cita-cita mereka.
                Singkat kata, internet telah menjadi dunia tersendiri di mana berbagai hal yang tak terbayangkan sebelumnya bisa dibuat dan dilakukan. 

 
 Gambar 4: Internet Hari Ini










No comments:

Post a Comment