Dasar-dasar
Filsafat Pendidikan Islam
Oleh: Khairil Azhar
Pengantar
“Innama l’ilmu bi al- ta’allum wa innama l-hilmu
bi al-tahallum....”
Ungkapan di atas, yang oleh sebagian
ulama dinyatakan sebagai hadis, menunjukkan tentang salah satu konsep
pendidikan dalam Islam bahwa ilmu pengetahuan didapat melalui proses belajar (ta’allum). Begitu juga halnya dengan
kesantunan (al-hilm), bagaimanapun
memerlukan proses habituasi kesantunan (tahallum),
pembiasaan terus-menerus berdasarkan eksemplifikasi atau uswatun hasanah.
Dalam kaitan dengan keharusan umat
Islam untuk bangkit dan berjuang mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, penggalian terhadap konsep-konsep kependidikan
seperti contoh di atas, yang pernah ada atau berkembang, berada dalam momentum
yang tepat. Sebabnya tak lain adalah bahwa kemajuan umat Islam diyakini hanya
mungkin—atau bisa bergerak lebih cepat dan tepat—jika kembali pada akar-akar
keislaman, baik yang terdapat dalam sumber-sumber ajaran maupun dalam rentang
panjang sejarahnya. Cara ini akan bisa ikut menjawab pertanyaan “limaa za ta’akhkhara la-muslimuun wa
taqaddama gairuhum”.
Makalah ini oleh karena itu akan
membahas konsep-konsep dasar kependidikan Islam yang diajarkan oleh Islam
sendiri. Namun demikian, dalam rangka menjelaskan definisi, posisi dan nilai
etis dan praktisnya, akan disinggung beberapa konsep kependidikan yang umum,
yang dalam hal ini kita sebut saja konsep kependidikan Barat.
Konsep dan Definisi
Filsafat
Konsep “filsafat” atau “falsafah”
dapat diartikan dalam dua cara. Pertama,
filsafat berkaitan dengan nilai-nilai batiniah atau mendasar yang dimiliki oleh
seseorang atau masyarakat. Dalam hal ini, filsafat berkaitan dengan pandangan
hidup, dasar-dasar kebijaksanaan dalam melihat dan menilai segala sesuatu
(KBBI: 1999).
Kedua,
“filsafat” sebagai ilmu dapat didefinisikan sebagai “suatu cara berpikir yang
radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya” (Jujun: 1995). Dalam hal ini, “filsafat” merupakan disiplin
ilmu tersendiri dalam khazanah ilmu pengetahuan secara umum yang dapat
disederhanakan sebagai “ilmu cara berpikir”.
Sebagai ilmu cara berpikir, filsafat
secara garis besar mengkaji tiga ranah yang saling berkaitan, yakni ontologi,
epistemologi dan aksiologi (Jujun:1995). Dalam ontologi dikaji apa saja yang
mungkin dipelajari oleh manusia. Bagi ilmu pengetahuan Barat, yang mungkin
dipelajari adalah yang empiris, hal-hal yang terukur. Metafisika, hal-hal di
luar yang fisikal—seperti konsep ketuhanan—oleh karena itu, bukan termasuk
dalam objek yang mungkin dipelajari.
Dalam Islam, sebagaimana juga halnya
dalam agama Kristen di Barat, konsep ketuhanan dan segala turunan dan yang
terkait dengannya diyakini dapat dijelaskan dengan filsafat. Oleh karena itu,
berbeda dari pandangan kaum empiris, perihal ketuhanan diyakini masuk dalam
daftar yang bisa dipelajari, sesuatu yang memiliki ontologi-nya sendiri.
Epistemologi berkaitan dengan
pertanyaan “bagaimana” pengetahuan tentang sesuatu bisa diperoleh. Oleh karena
itu, ranah filsafat ini mengkaji secara radikal dan menyeluruh tentang
metode-metode untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Jika konsep yang hendak
dikaji adalah tentang “ketuhanan”, maka epistemologi membahas bagaimana
pengetahuan tentang ketuhanan bisa diperoleh sedalam-dalamnya.
Sedangkan aksiologi membahas tentang
“kenapa” atau “untuk apa” suatu pengetahuan atau teknologi digunakan. Ungkapan
dari Albert Einstein bahwa “ilmu pengetahuan akan buta tanpa agama” ada dalam
ranah ini. Kemajuan teknologi dengan adanya bom atom sebagai contoh, hanya akan
berakibat menghancurkan jika tidak ada kontrol berdasarkan nilai-nilai ilahiah,
kemanusiaan, atau kepedulian terhadap lingkungan.
Filsafat Islam
Islam memiliki filsafatnya sendiri,
yang belakangan ini secara internasional semakin diakui. Dalam salah satu
penerbitan Barat, filsafat Islam dinyatakan secara tegas sebagai filsafat yang
terlahir dan berkembang dalam kerangka kebudayaan Islam (Routledge Encyclopedia of Philosophy: 2011).
Berdasarkan praktik filsafat Islam
dalam rentang sejarah lebih dari
empat-belas abad, filsafat Islam didefinisikan sebagai “pencarian tanpa henti
terhadap hikmah (wisdom) dalam terang
pandangan hidup Islami, hakikat semesta, etika, masyarakat dan seterusnya.
Tradisi panjang terkait dengan (keyakinan atas) kesesuaian antara aql (intellect/reason)
dan iman (faith/religion)” (Wikipedia: 2011).
Filsafat Islam, oleh karena itu,
memiliki ontologi, epistemologi dan aksiologinya sendiri. Sebagaimana
disinggung di atas, filsafat Islam mencakupkan masalah metafisika di samping
hal-hal empiris untuk dikaji. Artinya, perkara ketuhanan atau tawhid dapat
dijelaskan oleh filsafat. Keberadaan keyakinan atau iman tidak sama sekali
bertentangan dengan keberadaan atau fungsi akal maupun nalar.
Selanjutnya, ada metode-metode pencarian
ilmu pengetahuan yang definitif, logis maupun empiris, disertai
produk-produknya yang digunakan sampai saat ini. Ibn Sina (980-1037), sebagai
contoh, di samping mempelajari disiplin-disiplin keagamaan menggunakan
filsafat, juga mengkaji hal-hal empiris secara saksama. Kitab al-Qanun fi al-Tib berisi hasil
kajiannya tentang kedokteran secara ilmiah, ketika dalam kitab al-Burhan Ibnu Sina menjelaskan tentang
filsafat ilmu pengetahuan—philosophy of
science, epistemology (Wikipedia: June 2011).
Dan Islam merupakan agama penuh nilai
(aksiologis), ketika al-Quran sebagai kitab suci ataupun Hadis Nabi ternyata
sebagian besarnya bertutur tentang etika. 95 persen (hampir 6.000) dari ayat
al-Quran membahas tentang moral, ketika hanya 5 persen saja yang membahas
tentang hukum. Demikian juga dengan hadis, dari sekitar 60.000 hadis, hanya 3
persen atau 2.000 saja yang berbicara tentang hukum dan sisanya tentang etika
(Sheikh Ali Gomaa: 2008).
Pendidikan Islam
Pengertian “pendidikan” dalam KBBI
cenderung behavioris, yakni ketika pendidikan diartikan sebagai “proses
pengubahan sikap dan tata-laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakannya melalui upaya pembelajaran dan pelatihan” (KBBI:1999).
Jika dibanding dengan pengertian
Imanuel Kant (1960) tentang pendidikan, definisi yang diberikan KBBI hanya
mengenai satu aspek saja, yakni perihal sikap dan tata-laku. Menurut Kant,
pendidikan mencakup educare atau
pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu dan educere atau upaya mendewasakan individu supaya bisa mandiri dan
diterima dalam lingkungan sosialnya (Anne Jordan et.al: 2008).
Sedangkan “pendidikan Islam”,
seperti dirumuskan oleh FWCME tahun 1977, merupakan “upaya memfasilitasi
perkembangan kepribadian manusia secara seimbang dan menyeluruh melalui
pelatihan jiwa (spirit), akal (itellect), nalar (ratio), perasaan dan
indera-indera tubuh. Pendidikan yang diberikan kepada seorang Muslim mestilah
yang memastikan keimanan memenuhi kepribadiannya dan pendidikan tersebut
menciptakan keterikatan emosional dirinya dengan Islam” (FWCME, 1977).
Penekanan yang sama terkait prinsip
keimanan atau ikatan emosional dengan Islam ditegaskan lebih lanjut oleh Syed
Muhammad Naquib al-Attas, “pendidikan merupakan upaya untuk memastikan pengenalan
(recognition) dan kepahaman (acknowledgment) individu, dimana pengenalan
dan kepahaman tersebut secara progresif ditanamkan ke dalam individu, tentang
tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam orde penciptaan (the order of creation), sehingga
pendidikan dengan hasil pengenalan dan kepahaman tersebut membawa individu pada
pengenalan dan kepahaman tentang posisi Tuhan secara tepat dalam orde ada dan keberadaan,
the order of being and existence
(al-Attas: 1980).
Seiring dengan pemahaman tentang
pendidikan dan pendidikan Islam di atas, Abdurrahman Shalih Abdullah
mengemukakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk memfasilitasi (1)
pertumbuhan fisik/biologis manusia (ahdaf
jismiyyah); (2) perkembangan kualitas spiritual (ahdaf ruhiyyah); dan perkembangan mental, baik rasio (nutq) maupun intelektual (aql) (Abdullah, 1982).
Dengan demikian, yang membedakan
konsep pendidikan Islam dari konsep pendidikan umum atau Barat adalah adanya ahdaf ruhiyyah, bahwa pendidikan
semestinya juga membina aspek spiritual manusia, bahwa ada Tuhan sebagai Sang
Pencipta dan alam (di mana di dalamnya ada manusia); bahwa pendidikan mestilah
memastikan manusia mengetahui dan mengakui adanya orde penciptaan dan segala
konsekuensi keberadaannya.
Filsafat
Pendidikan Islam
Dalam pengertian yang umum, seperti
dalam Britannica Encyclopedia dan literatur lainnya, filsafat pendidikan pada
umumnya diartikan sebagai “penerapan metode-metode filsafat terhadap teori dan
praktik pendidikan, seperti mengenai hakikat pembelajaran, tujuan
pendidikan—khususnya pertanyaan apakah yang menjadi tujuan utama pendidikan sekadar
penanaman ilmu pengetahuan, pengembangan kemandirian intelektual atau penanaman
nilai-nilai moral atau politik; hakikat konsep-konsep yang terkait dengan
pendidikan, termasuk konsep pendidikan sendiri; sumber dan legitimasi otoritas
pendidikan; dan pelaksanaan penelitian pendidikan” (Britannica Encyclopedia:
2011).
Lebih ringkas, filsafat pendidikan
berurusan dengan upaya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar
terkait pendidikan—apapun yang bisa diketahui dan apa menfaatnya bagi pendidikan...
hakikat realitas, sumber-sumber nilai dan makna masing-masingnya bagi
pendidikan—tujuan, kurikulum, dan metode” (Joe park, 1963)
Sedangkan filsafat pendidikan Islam
bisa diartikan sebagai “studi mendasar dan menyeluruh tentang hal-hal yang
berkenaan dengan pemikiran dan praktik kependidikan berdasarkan parameter
Islami, baik terhadap pemikiran dan praktik kependidikan yang berasal dari
sumber ajaran dan kultur Islam maupun yang bersumber dari pemikiran atau
praktik kependidikan non-Islam.”
Konsep parameter Islami dan inklusi
konsep kependidikan yang berasal dari luar Islam umpamanya dikemukakan oleh
al-Attas (1980). Baginya, sejauh suatu pemikiran atau praktik kependidikan
tidak bertentangan dengan keyakinan-keyakinan asasi Islam serta prinsip-prisnsip
etisnya, dengan kata lain selama itu membawa maslahat, maka pemikiran atau
praktik tersebut bisa diterima dan digunakan.
Dengan demikian, al-Attas menerima
konsep eklektik, bahwa pemikiran atau praktik pendidikan Islam pada dasarnya
bersifat terbuka, bisa mengadopsi konsep-konsep yang berasal dari luar Islam
atau tidak melulu bersandar pada konsep-konsep yang dikenal dalam masyarakat
Muslim saja. Penerimaan akan inovasi
pendidikan yang baru, oleh karena itu, darimana pun sumbernya, merupakan hal
yang wajar dan tidak melanggar syari’ah (Al-Attas, 1980).
Dasar-dasar
Filsafat Pendidikan Islam
Dalam
filsafat pendidikan Islam secara umum, atau bahkan universal, pemikiran dan
praktik pendidikan tidak bisa dilepaskan dari 6 konsep dasar, yakni Tuhan,
alam, manusia, ilmu, masyarakat dan akhirat. Keenam konsep ini menjadi
“falsafah”, yakni merupakan gagasan dan keyakinan batiniah yang dimiliki oleh
setiap Muslim, landasan dalam memandang dan menilai setiap pemikiran dan
praktik kependidikan. Keenam konsep tersebut bisa divisualkan seperti di bawah
ini.
1.
Konsep Ketuhanan
Ajaran Islam,
sebagai sebuah agama, terpusat pada keyakinan akan adanya Allah sebagai
pencipta dari segala sesuatu, atau teisme. Ini dibedakan dari konsep ateisme,
bahwa Tuhan itu tidak ada atau bahwa konsep penciptaan itu sesuatu yang tidak
bisa dibuktikan secara logis atau empiris.
Karena ajaran
tentang keberadaan Allah tersebut, setiap Muslim merealisasikannya dalam bentuk
tawhid, bahwa manusia mesti mengakui,
berbuat dan berkeyakinan murni demi Allah semata. Dalam perumusan para ulama,
setiap Muslim mesti mengetahui dan mengamalkan apa yang disebut sebagai tawhid rububiyyah, tawhid uluhiyyah, dan tawhid
asma’ dan sifat Allah (Khairan, 2011)
Dalam tawhid rububiyyah diajarkan bahwa setiap
pemikiran dan aktivitas seorang Muslim tidak pernah bisa dilepaskan dari
keberadaan dirinya dalam struktur penciptaan. Sebagai hamba, seorang Muslim mesti
mengakui Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, Yang Mewafatkan, dan Yang
meng-kiamatkan, dan seterusnya.
Tawhid uluhiyyah, selanjutnya, mengajarkan bahwa
sebagai konsekuensi dari pengakuan akan keberadaan dan kemahakuasaan Allah,
manusia mesti secara ikhlas patuh dan taat dalam bentuk menjalankan ibadah dan
amal-kebaikan atas nama Allah. Aktivitas-aktivitas berbasis ketaatan tersebut
merupakan realisasi dari keberadaan Muslim sebagai hamba Allah, dimana setiap
ketidak-ikhlas-an akan menciderai kualitas relasi dirinya dengan Allah.
Sedangkan tawhid asma dan sifat Allah mengajarkan
seorang Muslim untuk berbicara (dan meyakini) tentang nama-nama dan sifat Allah
sebagaimana Allah sendiri menjelaskannya dalam Al-Quran atau sebagaimana
Rasulullah mengajarkan dalam hadis-hadisnya. Dalam hal ini, seorang Muslim
melakukan tasybih, membandingkan
Allah dengan yang selain-Nya; tamsil,
menyamakan sifat Allah dengan sifat ciptaan-Nya; tahrif, melakukan pemaknaan yang mendistorsi kualitas nama dan
sifat Allah; dan ta’til, menolak
keberadaan sifat-sifat Allah.
Secara ringkas,
konsep ketuhanan yang menjadi dasar seorang Muslim berpemikiran dan
beraktivitas tergambar secara grafis sebagai berikut.
1.
Konsep tentang Manusia
Jika
dibandingkan dengan konsep sekuler Barat, konsep Islam tentang manusia memiliki
perbedaan yang mendasar. Hal ini disebabkan oleh absolutisme keyakinan akan
keberadaan Tuhan dalam setiap segi kehidupan manusia. Dilnawaz A. Siddiqui,
seorang Muslim dan professor komunikasi di Universitas Pennsylvania, dalam
telaahnya tentang Islam dan teknologi komunikasi, membandingkan konsep manusia
antara pandangan Barat dengan Islam (Siddiqui, 1991).
Dalam tabel
perbandingan yang Siddiqui ini, pandangan Barat merupakan representasi dari
dominasi filsafat sekuler dan pengaruh ajaran Kristen yang hidup seperti di
Eropa dan Amerika Utara. Bagi kalangan Kristen yang fanatik, bagaimanapun juga,
mereka mengakui keberadaan Injil sebagai wahyu dan menolak teori evolusi Darwin
tentang manusia. Bahkan dalam beberapa hal, terdapat persamaan dengan
konsep-konsep Islam.
Konsep Islam
tentang manusia pada dasarnya terpusat pada konsep “khalifah”, bahwa manusia
merupakan representasi dari keberadaan Tuhan di muka bumi. Manusia adalah
subyek yang diciptakan secara fitrah dan oleh karena itu mesti menjaga fitrah
tersebut dengan ilmu pengetahuan tentang Allah, alam dan sebagainya. Ketika
manusia berbuat dosa secara sengaja, maka itu merupakan bentuk pelanggaran
terhadap fitrahnya. Oleh karena itu, dia mesti bertanggung jawab.
Kesuksesan
sebagai khalifah tidak diukur utamanya atau melulu secara materialistis.
Kesempurnaan manusia justru dicapai secara
multidimensional. Manusia sukses adalah manusia yang sukses secara spiritual,
sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu, seperti dalam kehidupan bermasyarakat,
konsep empati, kejujuran dan rela berkorban merupakan nilai-nilai utama yang
mesti dimiliki dan diamalkan.
Sayangnya,
menurut Siddiqui, ummat Islam tertinggal dari segi ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini merupakan ironi ketika Islam sendiri, jika dibandingkan
dengan Kristen umpamanya, secara sangat ekplisit dan berulang-ulang mengajarkan
pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan sudah pernah mengalami masa
kejayaan di abad 7-10 Masehi.
1.
Konsep Islam Tentang Alam
Dalam telaah
tentang konsep ekologi dalam Islam, khususnya berdasarkan karya-karya Seyyed
Hossein Nasr, dua orang ekolog, Marjorie Hope dan James Young menyatakan, “…
dalam inti ajaran Islam terdapat kewajiban (bagi manusia) untuk melindungi
alam—(karena) dunia ini merupakan refleksi dari keberadaan Tuhan yang Maha
Tinggi” (Hope and Young, 1994).
Kutipan di atas
mengingatkan kita betapa bagi non-Muslim sekalipun, ajaran Islam itu indah,
ramah lingkungan, tidak destruktif, mengayomi dan seterusnya. Bahwa bukan
manusia yang memiliki alam dan oleh karena itu sama sekali tidak berhak untuk
melakukan eksploitasi yang semena-mena. Justru, manusia berkewajiban untuk
memakmurkan alam, memanfaatkan alam seperlunya dan berkeyakinan bahwa hal ini
dilakukan sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta alam.
Di masa
Rasulullah, seperti terbaca dalam tabel di atas, konsep reservasi dan
konservasi alam sudah menjadi kewajiban untuk dijalankan oleh umat Islam.
Selain sebagai kewajiban uluhiyyah, kelanggengan alam disadari sepenuhnya
merupakan jaminan bagi keberlanjutan kehidupan dari generasi ke generasi.
Alam diajarkan
memiliki kodratnya sendiri, bahwa eksploitasi yang berlebihan (israf) akan merusak dan
menghancurkannya. Malapetaka seperti kelaparan, banjir, tanah longsor dan
sebagainya merupakan konsekuensi alamiah dari pemanfaatan alam secara
serampangan. Konsep pemanfaatan alam, oleh karena itu, adalah moderasi (wasathan)
4. Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan
Islam, sebagaimana disinggung di atas, merupakan salah satu agama yang
secara kuat dan jelas mengutamakan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam al-Quran
dalam banyak kesempatan dinyatakan fenomena-fenomena alam yang terbuka untuk
telaah, penelitian, dan sebagainya.
Dibandingkan
dengan konsep filsafat ilmu Barat, Islam secara tegas menyatakan bahwa ada ilmu
pengetahuan yang bersifat naqliah, yakni adanya ilmu pengetahuan yang didasarkan
atas atau bersumber dari wahyu ilahiah. Jenis pengetahuan ini terutama
berkaitan dengan aspek-aspek teologis, hukum-hukum syari’ah dan
landasan-landasan etis bagi kehidupan manusia.
Sementara, dalam
konsep Barat, ilmu pengetahuan mestilah bersifat logis-empiris atau yang paling
abstrak bersifat eksistensial, atau dengan kata lain ilmu pengetahuan yang representatif
adalah yang bersifat ‘aqliah. Ilmu
pengetahuan yang metafisik dianggap spekulatif, mengada-ada dan sebagainya.
Meskipun tidak se-kongkrit ilmu pengetahuan alam, umpamanya, ilmu-ilmu sosial
tetap mendapat bobot empiris dengan berbagai metode ilmiah, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif .
Terkait dengan
konsep pembelajaran, Islam pada dasarnya memberikan landasan-landasan etis dan
psikologis yang bisa dikatakan eklektik. Pertama-tama, sebagai contoh, Islam
mengakui konsep fitrah, bahwa manusia
itu bisa berkembang sesuai dengan lingkungan atau fasilitasi yang
didapatkannya. Jika seorang manusia berada dalam lingkungan yang baik dan
mendapat pendidikan yang tepat diyakini bahwa dia akan menjadi baik juga.
Demikian pula sebaliknya, jika dia difasilitasi oleh lingkungan atau pendidikan
yang tidak tepat, perkembangan moral, fisik, dan psikis-nya akan bermasalah
atau tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya.
Kedua, Islam mengajarkan bahwa
nilai-nilai baik atau buruk (seperti yang terdapat dalam al-Quran) atau konsep pengetahuan bisa diajarkan dengan
mengajak peserta pendidikan melakukan rasionalisasi, pembuktian logis, dan
sebagainya. Dengan kata lain, Islam juga mengajarkan konsep idealisme dalam
kependidikan. Namun demikian, berbeda dari konsep ateisme, umpamanya, Islam
memberikan rambu-rambu teologis, dimana rasio dan intelek memiliki keterbatasan
di hadapan Tuhan.
Ketiga, seperti tertera dalam Quran
16:78 dan ayat-ayat lainnya, Islam mengajarkan bahwa proses belajar terkait
dengan indera manusia. Dengan penglihatan, manusia belajar mengenali fenomena
alam. Dengan pikiran manusia membuat klasifikasi, melakukan perbandingan, dan
sebagainya. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Islam juga mengajarkan tentang
pendidikan sebagai proses mengalami dan membuktikan (empirisisme).
Keempat, Islam dengan jelas menyatakan
bahwa manusia berkembang dari satu tahap menuju tahap berikutnya. Dalam setiap
tahap terjadi proses pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis yang
berkelanjutan sekaligus berbeda. Jika proses pertumbuhan dan perkembangan
terjadi sesuai fitrah, maka seorang manusia akan menjadi apa yang disebut
sebagai insan kamil, manusia yang
utuh atau manusia yang paripurna. Oleh karena itu,bisa dilihat bahwa Islam juga
memiliki falsafah developmentalisme.
5. Konsep Kependidikan Islam dan Masyarakat
Berbeda
dari stereotype yang banyak dianut di
Barat tentang Islam, konsep kemasyarakatan yang utama, seperti demokrasi,
perdamaian, pluralitas, keadilan sosial, good
governance dan lainnya ternyata secara teologis-etis disampaikan dalam
al-Quran. Pertama, Islam mengakui
bahwa perbedaan bangsa, bahasa, warna kulit dan sebagainya merupakan fitrah,
suatu hukum alam yang tidak bisa diubah. Di atas semua perbedaan itu, Nabi
Muhammad menyatakan bahwa “la farqa baina
‘arabi wa a’jami”, tidak ada perbedaan antara keturunan Arab dengan selain
Arab. Dengan kata lain, tidak ada rasisme. Manusia yang utama adalah yang mampu
meraih derajat taqwa, kualitas
paripurna di hadapan Allah yang sepenuhnya bersifat spiritual.
Kedua, komunitas Muslim atau komunitas
di mana seorang Muslim berada mestilah dibangun di atas fondasi yang moderat
dan adil, yang dimungkinkan oleh adanya kepercayaan publik (syahadah). Dalam Quran 2:143 sebagai
contoh, Muslim mestilah mencapai taraf syuhada’
dalam kehidupan bermasyarakat, yakni bisa menjadi saksi yang jujur dan adil dalam
suatu perkara.
Ketiga, sebagaimana disampaikan oleh
Nabi Muhammad, suatu kumpulan orang (yang benar-benar) Muslim tidaklah akan
bersama-sama demi suatu kemudharatan. Sebaliknya, suatu komunitas Muslim
mestilah berusaha menciptakan kebaikan demi kebaikan dan tidak sebaliknya,
bahwa mereka membangun suatu komunitas yang bertujuan untuk kemungkaran dan
menghancurkan seperti tindakan-tindakan terorisme.
Keempat, kehidupan bermasyarakat dan bernegara umat Islam
ternyata diajarkan supaya bersandar pada prinsip musyawarah (demokrasi),
perdamaian dan sebagainya. Bahkan secara teologis dinyatakan bahwa yang bisa
memutus secara absolut hanyalah Tuhan, sehingga adanya kekuasaan mutlak di
tangan satu orang seperti dalam konsep monarki tidak bisa diterima. Namun, di
atas semuanya, Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan secara eksplisit,
tetapi lebih menekankan nilai-nilai yang mesti dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat
atau bernegara, seperti yang dikenal dengan konsep siyasah al-‘adilah, konsep politik yang berkeadilan.
Kelima,
Islam sangat mengedepankan konsep keadilan sosio-ekonomi. Meskipun mengakui
adanya perbedaan kemampuan atau status ekonomi di tengah masyarakat, Islam
mewajibkan setiap Muslim untuk berbagi dan membantu sesama. Konsep zakat,
umpamanya, lebih dari konsep charity
yang dikenal di Barat, karena zakat wajib dikelola secara professional dengan
adanya pengelola, manajemen, dan akuntabilitas. Zakat tidak terbatas digunakan
untuk membangun masjid atau kebutuhan konsumtif
fakir-miskin, tetapi lebih dari itu adalah untuk membangun sekolah,
rumah sakit, lembaga ekonomi umat dan sebagainya.
Keenam, Islam mengajarkan konsep good governance secara jelas.
Kepemerintahan berpusat pada pemimpin yang adil, jujur, dan bijaksana. Dalam
al-Quran sering diulang-ulang bahwa setiap manusia harus bertanggung-jawab atas
apa yang dilakukannya, tidak saja kepada manusia tetapi juga kepada Allah.
Konsep akuntabilitas menjadi syarat wajib bagi setiap pemimpin, suatu konsep
yang sayangnya patut dipertanyakan apakah diterapkan oleh orang-orang Muslim yang
menjadi pemimpin saat ini atau tidak.
Penutup
Berdasarkan pembahasan di
atas, terdapat beberapa pokok pikiran penting terkait dengan dasar-dasar filsafat pendidikan Islam, yang dalam konteks ini
menjadi ciri khas atau pembeda dari pemikiran filsafat pendidikan lainnya:
1. Filsafat Pendidikan Islam menerima adanya sumber
pengetahuan naqliyyah, pengakuan atas wahyu (al-Quran) dan hadis Nabi.
- Keberadaan konsep “akhirat” merupakan representasi dari keharusan adanya akuntabilitas manusia atas apa yang dilakukannya.
- Implikasi praksis-edukatif dari filsafat pendidikan Islam adalah adanya konsep eklektik, yakni dimungkinkkannya menggunakan berbagai metode pembelajaran, namun dengan berbasis pada nilai-nilai ketuhanan.
Referensi
“Education in
Islamic Education—Pedagogy and Didactics”, diunduh dari http://science.jrank.org,
2011
Anne Jordan et. al, Approaches to Learning: A Guide
for Teachers, Berkshire: McGraw Hill, 2008
Asma Afsaruddin, The Philosophy of Islamic Education,
University of Notre Dame, 2005
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta:
Depag, 1971
Dilnawaz A. Siddiqui, “Selected major Issues in Instructional/Communication Technology: An
Islamic Perspective”, The America Journal of Islamic Social
Sciences, Vol. 10/3, 1991
Henrietta Szovati, “The Concept of Society in Islam”, Mozaik, UK, 2006/2
Iyadh Abumoghli, Sustainable Development in Islam,
UND, 2004
Khairan Muhammad Arif, Teknologi Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Jakarta: UIA,
2011
Marjorie Hope and James Young, “Islam and Ecology”, Cross Currents, Summer 1994, Vol. 44,
Issue 2 (www.crosscurrents.org)
Mohd. Nasran Mohamad, “The Concept of Islamic State”, Universiti Kebangsaan Malaysia,
diunduh dari www.arts.ualberta.ca/cms/mohamad.pdf
Sayyid Wahid Akhtar, “The Islamic Concept of Knowledge”, Al-Tawhid, Vol. XII No. 3
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam,
Mecca: FWCME, 1980
No comments:
Post a Comment