Tuesday, June 19, 2012


Dasar-dasar Filsafat Pendidikan Islam
Oleh: Khairil Azhar

Pengantar

Innama l’ilmu bi al- ta’allum wa innama l-hilmu bi al-tahallum....”
            Ungkapan di atas, yang oleh sebagian ulama dinyatakan sebagai hadis, menunjukkan tentang salah satu konsep pendidikan dalam Islam bahwa ilmu pengetahuan didapat melalui proses belajar (ta’allum). Begitu juga halnya dengan kesantunan (al-hilm), bagaimanapun memerlukan proses habituasi kesantunan (tahallum), pembiasaan terus-menerus berdasarkan eksemplifikasi atau uswatun hasanah.
            Dalam kaitan dengan keharusan umat Islam untuk bangkit dan berjuang mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, penggalian terhadap konsep-konsep kependidikan seperti contoh di atas, yang pernah ada atau berkembang, berada dalam momentum yang tepat. Sebabnya tak lain adalah bahwa kemajuan umat Islam diyakini hanya mungkin—atau bisa bergerak lebih cepat dan tepat—jika kembali pada akar-akar keislaman, baik yang terdapat dalam sumber-sumber ajaran maupun dalam rentang panjang sejarahnya. Cara ini akan bisa ikut menjawab pertanyaan “limaa za ta’akhkhara la-muslimuun wa taqaddama gairuhum”.
            Makalah ini oleh karena itu akan membahas konsep-konsep dasar kependidikan Islam yang diajarkan oleh Islam sendiri. Namun demikian, dalam rangka menjelaskan definisi, posisi dan nilai etis dan praktisnya, akan disinggung beberapa konsep kependidikan yang umum, yang dalam hal ini kita sebut saja konsep kependidikan Barat.

Konsep dan Definisi Filsafat
            Konsep “filsafat” atau “falsafah” dapat diartikan dalam dua cara. Pertama, filsafat berkaitan dengan nilai-nilai batiniah atau mendasar yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat. Dalam hal ini, filsafat berkaitan dengan pandangan hidup, dasar-dasar kebijaksanaan dalam melihat dan menilai segala sesuatu (KBBI: 1999).
            Kedua, “filsafat” sebagai ilmu dapat didefinisikan sebagai “suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya” (Jujun: 1995). Dalam hal ini, “filsafat” merupakan disiplin ilmu tersendiri dalam khazanah ilmu pengetahuan secara umum yang dapat disederhanakan sebagai “ilmu cara berpikir”.
            Sebagai ilmu cara berpikir, filsafat secara garis besar mengkaji tiga ranah yang saling berkaitan, yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi (Jujun:1995). Dalam ontologi dikaji apa saja yang mungkin dipelajari oleh manusia. Bagi ilmu pengetahuan Barat, yang mungkin dipelajari adalah yang empiris, hal-hal yang terukur. Metafisika, hal-hal di luar yang fisikal—seperti konsep ketuhanan—oleh karena itu, bukan termasuk dalam objek yang mungkin dipelajari.
            Dalam Islam, sebagaimana juga halnya dalam agama Kristen di Barat, konsep ketuhanan dan segala turunan dan yang terkait dengannya diyakini dapat dijelaskan dengan filsafat. Oleh karena itu, berbeda dari pandangan kaum empiris, perihal ketuhanan diyakini masuk dalam daftar yang bisa dipelajari, sesuatu yang memiliki ontologi-nya sendiri.
            Epistemologi berkaitan dengan pertanyaan “bagaimana” pengetahuan tentang sesuatu bisa diperoleh. Oleh karena itu, ranah filsafat ini mengkaji secara radikal dan menyeluruh tentang metode-metode untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Jika konsep yang hendak dikaji adalah tentang “ketuhanan”, maka epistemologi membahas bagaimana pengetahuan tentang ketuhanan bisa diperoleh sedalam-dalamnya.
            Sedangkan aksiologi membahas tentang “kenapa” atau “untuk apa” suatu pengetahuan atau teknologi digunakan. Ungkapan dari Albert Einstein bahwa “ilmu pengetahuan akan buta tanpa agama” ada dalam ranah ini. Kemajuan teknologi dengan adanya bom atom sebagai contoh, hanya akan berakibat menghancurkan jika tidak ada kontrol berdasarkan nilai-nilai ilahiah, kemanusiaan, atau kepedulian terhadap lingkungan.

Filsafat Islam
            Islam memiliki filsafatnya sendiri, yang belakangan ini secara internasional semakin diakui. Dalam salah satu penerbitan Barat, filsafat Islam dinyatakan secara tegas sebagai filsafat yang terlahir dan berkembang dalam kerangka kebudayaan Islam (Routledge Encyclopedia of Philosophy: 2011).
            Berdasarkan praktik filsafat Islam dalam rentang sejarah  lebih dari empat-belas abad, filsafat Islam didefinisikan sebagai “pencarian tanpa henti terhadap hikmah (wisdom) dalam terang pandangan hidup Islami, hakikat semesta, etika, masyarakat dan seterusnya. Tradisi panjang terkait dengan (keyakinan atas) kesesuaian antara aql (intellect/reason) dan iman (faith/religion)” (Wikipedia: 2011).
            Filsafat Islam, oleh karena itu, memiliki ontologi, epistemologi dan aksiologinya sendiri. Sebagaimana disinggung di atas, filsafat Islam mencakupkan masalah metafisika di samping hal-hal empiris untuk dikaji. Artinya, perkara ketuhanan atau tawhid dapat dijelaskan oleh filsafat. Keberadaan keyakinan atau iman tidak sama sekali bertentangan dengan keberadaan atau fungsi akal maupun nalar.
Selanjutnya, ada metode-metode pencarian ilmu pengetahuan yang definitif, logis maupun empiris, disertai produk-produknya yang digunakan sampai saat ini. Ibn Sina (980-1037), sebagai contoh, di samping mempelajari disiplin-disiplin keagamaan menggunakan filsafat, juga mengkaji hal-hal empiris secara saksama. Kitab al-Qanun fi al-Tib berisi hasil kajiannya tentang kedokteran secara ilmiah, ketika dalam kitab al-Burhan Ibnu Sina menjelaskan tentang filsafat ilmu pengetahuan—philosophy of science, epistemology (Wikipedia: June 2011).
Dan Islam merupakan agama penuh nilai (aksiologis), ketika al-Quran sebagai kitab suci ataupun Hadis Nabi ternyata sebagian besarnya bertutur tentang etika. 95 persen (hampir 6.000) dari ayat al-Quran membahas tentang moral, ketika hanya 5 persen saja yang membahas tentang hukum. Demikian juga dengan hadis, dari sekitar 60.000 hadis, hanya 3 persen atau 2.000 saja yang berbicara tentang hukum dan sisanya tentang etika (Sheikh Ali Gomaa: 2008).

Pendidikan Islam
            Pengertian “pendidikan” dalam KBBI cenderung behavioris, yakni ketika pendidikan diartikan sebagai “proses pengubahan sikap dan tata-laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakannya melalui upaya pembelajaran dan pelatihan” (KBBI:1999).
            Jika dibanding dengan pengertian Imanuel Kant (1960) tentang pendidikan, definisi yang diberikan KBBI hanya mengenai satu aspek saja, yakni perihal sikap dan tata-laku. Menurut Kant, pendidikan mencakup educare atau pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu dan educere atau upaya mendewasakan individu supaya bisa mandiri dan diterima dalam lingkungan sosialnya (Anne Jordan et.al: 2008).
            Sedangkan “pendidikan Islam”, seperti dirumuskan oleh FWCME tahun 1977, merupakan “upaya memfasilitasi perkembangan kepribadian manusia secara seimbang dan menyeluruh melalui pelatihan jiwa (spirit), akal (itellect), nalar (ratio), perasaan dan indera-indera tubuh. Pendidikan yang diberikan kepada seorang Muslim mestilah yang memastikan keimanan memenuhi kepribadiannya dan pendidikan tersebut menciptakan keterikatan emosional dirinya dengan Islam” (FWCME, 1977).
            Penekanan yang sama terkait prinsip keimanan atau ikatan emosional dengan Islam ditegaskan lebih lanjut oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, “pendidikan merupakan upaya untuk memastikan pengenalan (recognition) dan kepahaman (acknowledgment) individu, dimana pengenalan dan kepahaman tersebut secara progresif ditanamkan ke dalam individu, tentang tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam orde penciptaan (the order of creation), sehingga pendidikan dengan hasil pengenalan dan kepahaman tersebut membawa individu pada pengenalan dan kepahaman tentang posisi Tuhan secara tepat dalam orde ada dan keberadaan, the order of being and existence (al-Attas: 1980).
            Seiring dengan pemahaman tentang pendidikan dan pendidikan Islam di atas, Abdurrahman Shalih Abdullah mengemukakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk memfasilitasi (1) pertumbuhan fisik/biologis manusia (ahdaf jismiyyah); (2) perkembangan kualitas spiritual (ahdaf ruhiyyah); dan perkembangan mental, baik rasio (nutq) maupun intelektual (aql) (Abdullah, 1982).
            Dengan demikian, yang membedakan konsep pendidikan Islam dari konsep pendidikan umum atau Barat adalah adanya ahdaf ruhiyyah, bahwa pendidikan semestinya juga membina aspek spiritual manusia, bahwa ada Tuhan sebagai Sang Pencipta dan alam (di mana di dalamnya ada manusia); bahwa pendidikan mestilah memastikan manusia mengetahui dan mengakui adanya orde penciptaan dan segala konsekuensi keberadaannya.

Filsafat Pendidikan Islam
            Dalam pengertian yang umum, seperti dalam Britannica Encyclopedia dan literatur lainnya, filsafat pendidikan pada umumnya diartikan sebagai “penerapan metode-metode filsafat terhadap teori dan praktik pendidikan, seperti mengenai hakikat pembelajaran, tujuan pendidikan—khususnya pertanyaan apakah yang menjadi tujuan utama pendidikan sekadar penanaman ilmu pengetahuan, pengembangan kemandirian intelektual atau penanaman nilai-nilai moral atau politik; hakikat konsep-konsep yang terkait dengan pendidikan, termasuk konsep pendidikan sendiri; sumber dan legitimasi otoritas pendidikan; dan pelaksanaan penelitian pendidikan” (Britannica Encyclopedia: 2011).
            Lebih ringkas, filsafat pendidikan berurusan dengan upaya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait pendidikan—apapun yang bisa diketahui dan apa menfaatnya bagi pendidikan... hakikat realitas, sumber-sumber nilai dan makna masing-masingnya bagi pendidikan—tujuan, kurikulum, dan metode” (Joe park, 1963)
            Sedangkan filsafat pendidikan Islam bisa diartikan sebagai “studi mendasar dan menyeluruh tentang hal-hal yang berkenaan dengan pemikiran dan praktik kependidikan berdasarkan parameter Islami, baik terhadap pemikiran dan praktik kependidikan yang berasal dari sumber ajaran dan kultur Islam maupun yang bersumber dari pemikiran atau praktik kependidikan non-Islam.”
            Konsep parameter Islami dan inklusi konsep kependidikan yang berasal dari luar Islam umpamanya dikemukakan oleh al-Attas (1980). Baginya, sejauh suatu pemikiran atau praktik kependidikan tidak bertentangan dengan keyakinan-keyakinan asasi Islam serta prinsip-prisnsip etisnya, dengan kata lain selama itu membawa maslahat, maka pemikiran atau praktik tersebut bisa diterima dan digunakan.
            Dengan demikian, al-Attas menerima konsep eklektik, bahwa pemikiran atau praktik pendidikan Islam pada dasarnya bersifat terbuka, bisa mengadopsi konsep-konsep yang berasal dari luar Islam atau tidak melulu bersandar pada konsep-konsep yang dikenal dalam masyarakat Muslim saja. Penerimaan akan inovasi pendidikan yang baru, oleh karena itu, darimana pun sumbernya, merupakan hal yang wajar dan tidak melanggar syari’ah (Al-Attas, 1980).

Dasar-dasar Filsafat Pendidikan Islam
            Dalam filsafat pendidikan Islam secara umum, atau bahkan universal, pemikiran dan praktik pendidikan tidak bisa dilepaskan dari 6 konsep dasar, yakni Tuhan, alam, manusia, ilmu, masyarakat dan akhirat. Keenam konsep ini menjadi “falsafah”, yakni merupakan gagasan dan keyakinan batiniah yang dimiliki oleh setiap Muslim, landasan dalam memandang dan menilai setiap pemikiran dan praktik kependidikan. Keenam konsep tersebut bisa divisualkan seperti di bawah ini.
 
1.   Konsep Ketuhanan
Ajaran Islam, sebagai sebuah agama, terpusat pada keyakinan akan adanya Allah sebagai pencipta dari segala sesuatu, atau teisme. Ini dibedakan dari konsep ateisme, bahwa Tuhan itu tidak ada atau bahwa konsep penciptaan itu sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara logis atau empiris.
Karena ajaran tentang keberadaan Allah tersebut, setiap Muslim merealisasikannya dalam bentuk tawhid, bahwa manusia mesti mengakui, berbuat dan berkeyakinan murni demi Allah semata. Dalam perumusan para ulama, setiap Muslim mesti mengetahui dan mengamalkan apa yang disebut sebagai tawhid rububiyyah, tawhid uluhiyyah, dan tawhid asma’ dan sifat Allah (Khairan, 2011)
Dalam tawhid rububiyyah diajarkan bahwa setiap pemikiran dan aktivitas seorang Muslim tidak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan dirinya dalam struktur penciptaan. Sebagai hamba, seorang Muslim mesti mengakui Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, Yang Mewafatkan, dan Yang meng-kiamatkan, dan seterusnya.
Tawhid uluhiyyah,  selanjutnya, mengajarkan bahwa sebagai konsekuensi dari pengakuan akan keberadaan dan kemahakuasaan Allah, manusia mesti secara ikhlas patuh dan taat dalam bentuk menjalankan ibadah dan amal-kebaikan atas nama Allah. Aktivitas-aktivitas berbasis ketaatan tersebut merupakan realisasi dari keberadaan Muslim sebagai hamba Allah, dimana setiap ketidak-ikhlas-an akan menciderai kualitas relasi dirinya dengan Allah.
Sedangkan tawhid asma dan sifat Allah mengajarkan seorang Muslim untuk berbicara (dan meyakini) tentang nama-nama dan sifat Allah sebagaimana Allah sendiri menjelaskannya dalam Al-Quran atau sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam hadis-hadisnya. Dalam hal ini, seorang Muslim melakukan tasybih, membandingkan Allah dengan yang selain-Nya; tamsil, menyamakan sifat Allah dengan sifat ciptaan-Nya; tahrif, melakukan pemaknaan yang mendistorsi kualitas nama dan sifat Allah; dan ta’til, menolak keberadaan sifat-sifat Allah. 
Secara ringkas, konsep ketuhanan yang menjadi dasar seorang Muslim berpemikiran dan beraktivitas tergambar secara grafis sebagai berikut.
 

 1.      Konsep tentang Manusia
Jika dibandingkan dengan konsep sekuler Barat, konsep Islam tentang manusia memiliki perbedaan yang mendasar. Hal ini disebabkan oleh absolutisme keyakinan akan keberadaan Tuhan dalam setiap segi kehidupan manusia. Dilnawaz A. Siddiqui, seorang Muslim dan professor komunikasi di Universitas Pennsylvania, dalam telaahnya tentang Islam dan teknologi komunikasi, membandingkan konsep manusia antara pandangan Barat dengan Islam (Siddiqui, 1991).
 
 
Dalam tabel perbandingan yang Siddiqui ini, pandangan Barat merupakan representasi dari dominasi filsafat sekuler dan pengaruh ajaran Kristen yang hidup seperti di Eropa dan Amerika Utara. Bagi kalangan Kristen yang fanatik, bagaimanapun juga, mereka mengakui keberadaan Injil sebagai wahyu dan menolak teori evolusi Darwin tentang manusia. Bahkan dalam beberapa hal, terdapat persamaan dengan konsep-konsep Islam.
Konsep Islam tentang manusia pada dasarnya terpusat pada konsep “khalifah”, bahwa manusia merupakan representasi dari keberadaan Tuhan di muka bumi. Manusia adalah subyek yang diciptakan secara fitrah dan oleh karena itu mesti menjaga fitrah tersebut dengan ilmu pengetahuan tentang Allah, alam dan sebagainya. Ketika manusia berbuat dosa secara sengaja, maka itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap fitrahnya. Oleh karena itu, dia mesti bertanggung jawab.
Kesuksesan sebagai khalifah tidak diukur utamanya atau melulu secara materialistis. Kesempurnaan manusia justru  dicapai secara multidimensional. Manusia sukses adalah manusia yang sukses secara spiritual, sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu, seperti dalam kehidupan bermasyarakat, konsep empati, kejujuran dan rela berkorban merupakan nilai-nilai utama yang mesti dimiliki dan diamalkan.
Sayangnya, menurut Siddiqui, ummat Islam tertinggal dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini merupakan ironi ketika Islam sendiri, jika dibandingkan dengan Kristen umpamanya, secara sangat ekplisit dan berulang-ulang mengajarkan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan sudah pernah mengalami masa kejayaan di abad 7-10 Masehi.

1.      Konsep Islam Tentang Alam
Dalam telaah tentang konsep ekologi dalam Islam, khususnya berdasarkan karya-karya Seyyed Hossein Nasr, dua orang ekolog, Marjorie Hope dan James Young menyatakan, “… dalam inti ajaran Islam terdapat kewajiban (bagi manusia) untuk melindungi alam—(karena) dunia ini merupakan refleksi dari keberadaan Tuhan yang Maha Tinggi” (Hope and Young, 1994).
Kutipan di atas mengingatkan kita betapa bagi non-Muslim sekalipun, ajaran Islam itu indah, ramah lingkungan, tidak destruktif, mengayomi dan seterusnya. Bahwa bukan manusia yang memiliki alam dan oleh karena itu sama sekali tidak berhak untuk melakukan eksploitasi yang semena-mena. Justru, manusia berkewajiban untuk memakmurkan alam, memanfaatkan alam seperlunya dan berkeyakinan bahwa hal ini dilakukan sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta alam.


 
Di masa Rasulullah, seperti terbaca dalam tabel di atas, konsep reservasi dan konservasi alam sudah menjadi kewajiban untuk dijalankan oleh umat Islam. Selain sebagai kewajiban uluhiyyah, kelanggengan alam disadari sepenuhnya merupakan jaminan bagi keberlanjutan kehidupan dari generasi ke generasi.
Alam diajarkan memiliki kodratnya sendiri, bahwa eksploitasi yang berlebihan (israf) akan merusak dan menghancurkannya. Malapetaka seperti kelaparan, banjir, tanah longsor dan sebagainya merupakan konsekuensi alamiah dari pemanfaatan alam secara serampangan. Konsep pemanfaatan alam, oleh karena itu, adalah moderasi (wasathan)

4. Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan
            Islam, sebagaimana disinggung di atas, merupakan salah satu agama yang secara kuat dan jelas mengutamakan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam al-Quran dalam banyak kesempatan dinyatakan fenomena-fenomena alam yang terbuka untuk telaah, penelitian, dan sebagainya.
            Dibandingkan dengan konsep filsafat ilmu Barat, Islam secara tegas menyatakan bahwa ada ilmu pengetahuan yang bersifat naqliah,  yakni adanya ilmu pengetahuan yang didasarkan atas atau bersumber dari wahyu ilahiah. Jenis pengetahuan ini terutama berkaitan dengan aspek-aspek teologis, hukum-hukum syari’ah dan landasan-landasan etis bagi kehidupan manusia.
Sementara, dalam konsep Barat, ilmu pengetahuan mestilah bersifat logis-empiris atau yang paling abstrak bersifat eksistensial, atau dengan kata lain ilmu pengetahuan yang representatif adalah yang bersifat ‘aqliah. Ilmu pengetahuan yang metafisik dianggap spekulatif, mengada-ada dan sebagainya. Meskipun tidak se-kongkrit ilmu pengetahuan alam, umpamanya, ilmu-ilmu sosial tetap mendapat bobot empiris dengan berbagai metode ilmiah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif .
 

 Terkait dengan konsep pembelajaran, Islam pada dasarnya memberikan landasan-landasan etis dan psikologis yang bisa dikatakan eklektik. Pertama-tama, sebagai contoh, Islam mengakui konsep fitrah, bahwa manusia itu bisa berkembang sesuai dengan lingkungan atau fasilitasi yang didapatkannya. Jika seorang manusia berada dalam lingkungan yang baik dan mendapat pendidikan yang tepat diyakini bahwa dia akan menjadi baik juga. Demikian pula sebaliknya, jika dia difasilitasi oleh lingkungan atau pendidikan yang tidak tepat, perkembangan moral, fisik, dan psikis-nya akan bermasalah atau tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya.
            Kedua, Islam mengajarkan bahwa nilai-nilai baik atau buruk (seperti yang terdapat dalam al-Quran)  atau konsep pengetahuan bisa diajarkan dengan mengajak peserta pendidikan melakukan rasionalisasi, pembuktian logis, dan sebagainya. Dengan kata lain, Islam juga mengajarkan konsep idealisme dalam kependidikan. Namun demikian, berbeda dari konsep ateisme, umpamanya, Islam memberikan rambu-rambu teologis, dimana rasio dan intelek memiliki keterbatasan di hadapan Tuhan.
            Ketiga, seperti tertera dalam Quran 16:78 dan ayat-ayat lainnya, Islam mengajarkan bahwa proses belajar terkait dengan indera manusia. Dengan penglihatan, manusia belajar mengenali fenomena alam. Dengan pikiran manusia membuat klasifikasi, melakukan perbandingan, dan sebagainya. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Islam juga mengajarkan tentang pendidikan sebagai proses mengalami dan membuktikan (empirisisme).
            Keempat, Islam dengan jelas menyatakan bahwa manusia berkembang dari satu tahap menuju tahap berikutnya. Dalam setiap tahap terjadi proses pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis yang berkelanjutan sekaligus berbeda. Jika proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sesuai fitrah, maka seorang manusia akan menjadi apa yang disebut sebagai insan kamil, manusia yang utuh atau manusia yang paripurna. Oleh karena itu,bisa dilihat bahwa Islam juga memiliki falsafah developmentalisme.

5. Konsep Kependidikan Islam dan Masyarakat
            Berbeda dari stereotype yang banyak dianut di Barat tentang Islam, konsep kemasyarakatan yang utama, seperti demokrasi, perdamaian, pluralitas, keadilan sosial, good governance dan lainnya ternyata secara teologis-etis disampaikan dalam al-Quran. Pertama, Islam mengakui bahwa perbedaan bangsa, bahasa, warna kulit dan sebagainya merupakan fitrah, suatu hukum alam yang tidak bisa diubah. Di atas semua perbedaan itu, Nabi Muhammad menyatakan bahwa “la farqa baina ‘arabi wa a’jami”, tidak ada perbedaan antara keturunan Arab dengan selain Arab. Dengan kata lain, tidak ada rasisme. Manusia yang utama adalah yang mampu meraih derajat taqwa, kualitas paripurna di hadapan Allah yang sepenuhnya bersifat spiritual.
            Kedua, komunitas Muslim atau komunitas di mana seorang Muslim berada mestilah dibangun di atas fondasi yang moderat dan adil, yang dimungkinkan oleh adanya kepercayaan publik (syahadah). Dalam Quran 2:143 sebagai contoh, Muslim mestilah mencapai taraf syuhada’ dalam kehidupan bermasyarakat, yakni bisa menjadi saksi yang jujur dan adil dalam suatu perkara.
            Ketiga, sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad, suatu kumpulan orang (yang benar-benar) Muslim tidaklah akan bersama-sama demi suatu kemudharatan. Sebaliknya, suatu komunitas Muslim mestilah berusaha menciptakan kebaikan demi kebaikan dan tidak sebaliknya, bahwa mereka membangun suatu komunitas yang bertujuan untuk kemungkaran dan menghancurkan seperti tindakan-tindakan terorisme.
 
 
Keempat, kehidupan bermasyarakat dan bernegara umat Islam ternyata diajarkan supaya bersandar pada prinsip musyawarah (demokrasi), perdamaian dan sebagainya. Bahkan secara teologis dinyatakan bahwa yang bisa memutus secara absolut hanyalah Tuhan, sehingga adanya kekuasaan mutlak di tangan satu orang seperti dalam konsep monarki tidak bisa diterima. Namun, di atas semuanya, Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan secara eksplisit, tetapi lebih menekankan nilai-nilai yang mesti dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara, seperti yang dikenal dengan konsep siyasah al-‘adilah, konsep politik yang berkeadilan.
            Kelima, Islam sangat mengedepankan konsep keadilan sosio-ekonomi. Meskipun mengakui adanya perbedaan kemampuan atau status ekonomi di tengah masyarakat, Islam mewajibkan setiap Muslim untuk berbagi dan membantu sesama. Konsep zakat, umpamanya, lebih dari konsep charity yang dikenal di Barat, karena zakat wajib dikelola secara professional dengan adanya pengelola, manajemen, dan akuntabilitas. Zakat tidak terbatas digunakan untuk membangun masjid atau kebutuhan konsumtif  fakir-miskin, tetapi lebih dari itu adalah untuk membangun sekolah, rumah sakit, lembaga ekonomi umat dan sebagainya.
            Keenam, Islam mengajarkan konsep good governance secara jelas. Kepemerintahan berpusat pada pemimpin yang adil, jujur, dan bijaksana. Dalam al-Quran sering diulang-ulang bahwa setiap manusia harus bertanggung-jawab atas apa yang dilakukannya, tidak saja kepada manusia tetapi juga kepada Allah. Konsep akuntabilitas menjadi syarat wajib bagi setiap pemimpin, suatu konsep yang sayangnya patut dipertanyakan apakah diterapkan oleh orang-orang Muslim yang menjadi pemimpin saat ini atau tidak.

Penutup
            Berdasarkan pembahasan di atas, terdapat beberapa pokok pikiran penting terkait dengan dasar-dasar filsafat  pendidikan Islam, yang dalam konteks ini menjadi ciri khas atau pembeda dari pemikiran filsafat pendidikan lainnya:

1.      Filsafat Pendidikan Islam menerima adanya sumber pengetahuan naqliyyah, pengakuan atas wahyu (al-Quran) dan hadis Nabi.
  1. Keberadaan konsep “akhirat” merupakan representasi dari keharusan adanya akuntabilitas manusia atas apa yang dilakukannya.
  2. Implikasi praksis-edukatif dari filsafat pendidikan Islam adalah adanya konsep eklektik, yakni dimungkinkkannya menggunakan berbagai metode pembelajaran, namun dengan berbasis pada nilai-nilai ketuhanan.
 Referensi
Education in Islamic Education—Pedagogy and Didactics”, diunduh dari http://science.jrank.org, 2011
Anne Jordan et. al, Approaches to Learning: A Guide for Teachers, Berkshire: McGraw Hill, 2008
Asma Afsaruddin, The Philosophy of Islamic Education, University of Notre Dame, 2005
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag, 1971
Dilnawaz A. Siddiqui, “Selected major Issues in Instructional/Communication Technology: An Islamic Perspective”, The America Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 10/3, 1991
Henrietta Szovati, “The Concept of Society in Islam”, Mozaik, UK, 2006/2
Iyadh Abumoghli, Sustainable Development in Islam, UND, 2004
Khairan Muhammad Arif, Teknologi Pendidikan dalam Perspektif  Islam, Jakarta: UIA, 2011
Marjorie Hope and James Young, “Islam and Ecology”, Cross Currents, Summer 1994, Vol. 44, Issue 2 (www.crosscurrents.org)
Mohd. Nasran Mohamad, “The Concept of Islamic State”, Universiti Kebangsaan Malaysia, diunduh dari www.arts.ualberta.ca/cms/mohamad.pdf
Sayyid Wahid Akhtar, “The Islamic Concept of Knowledge”, Al-Tawhid, Vol. XII No. 3
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, Mecca: FWCME, 1980






No comments:

Post a Comment