Wednesday, June 20, 2012

Sekolah Kita: Pusat Pendidikan Tawuran?
Khairil Azhar

         Jika suatu hari, untuk keperluan apa saja, Anda datang ke sekolah di mana anak Anda belajar, cobalah agak lama berada di pos keamanannya. Atau, kalau ingin tahu lebih jauh, bisa “nongkrong” di kantin sekolah atau warung di sekitarnya. Boleh juga, masuklah ke kamar kecil  dan amati suasana dan apa yang terjadi di sana.
         Bagi Anda yang pernah ke luar negeri atau bersekolah di sana, banyak hal, jika punya sedikit concern saja, yang mestinya bikin kita geleng-geleng kepala. Kamar kecil sekolah, umpamanya, termasuk banyak sekolah negeri yang populer di Jakarta, tak lebih baik dari toilet di terminal Rawamangun apalagi di stasiun pengisian bahan bakar.
         Di pos keamanan, kantin sekolah, atau warung sekitarnya, Anda akan mudah menemui guru-guru yang seenaknya merokok, bercanda dengan bahasa yang tak patut, menggoda siswa putri dan sebagainya. Anehnya, para guru ini, bagi para siswa terutama, akan dilabeli sebagai guru gaul dan seringkali menjadi guru favorit. Terkait soal favoritisme ini, guru olahraga, musik, atau keterampilan lainnya memiliki peluang nomor satu. Termasuk, dari segi peluang ekonomi, mereka bisa berpendapatan lebih dari kegiatan ekstra-kurikuler dan lainnya.
         Namun, lebih aneh lagi, sekolah-sekolah tertentu, terutama dengan label tertentu seperti SBI, RSBI, atau Sekolah Negeri, tetap menjadi pilihan banyak orang tua, termasuk yang well-educated dan memiliki latar belakang ekonomi yang bagus. Padahal, umpamanya, jika dilihat sejarahnya, sekolah-sekolah ini memiliki pengalaman kekerasan yang berulang dan seperti tidak teratasi.
Cobalah, jika Anda serius, dengan menggunakan mesin pencari Google, ketik “tawuran, sekolah, Jakarta”. Puluhan kasus dan sekolah dengan tradisi kekerasan di Jakarta akan muncul. Dan jangan kaget juga bahwa sekolah-sekolah negeri favorit, terutama SMP dan SMA akan muncul. Terlebih lagi, Anda harus siap jika sekolah di mana putra-putri belajar ternyata muncul di sana.
Lalu kenapa kekerasan di sekolah tetap saja terjadi? Bukankah, seperti di wilayah makmur seperti Jakarta, anggaran pendidikan daerahnya bisa berpuluh kali lipat dibanding daerah-daerah berpendapatan rendah di Indonesia, sehingga dengan anggaran itu  bisa diasumsikan kalau perekrutan guru, manajemen sekolah, pengembangan SDM dan sebagainya akan lebih bagus?
Bukankah Jakarta merupakan pusat di mana orang-orang berpendidikan terbaik dimungkinkan berada dan oleh karenanya juga mereka yang memiliki kualifikasi kependidikan terbaik?
Dalam salah satu sesi break pelatihan guru, seorang teman setengah bercanda bercerita. Di Jakarta, katanya, seorang kepala sekolah SMP mesti paling kurang memiliki dua hal. Pertama, dia harus naik haji, bagaimanapun caranya. Huruf “H.” di depan nama atau setelah titel “Drs.” wajib ada karena itu terkait dengan penerimaan keberadaan sang kepala sekolah di lingkungan sejawatnya, suatu status untuk sosiabilitas.
Kedua, dia harus memiliki mobil yang sepadan. Di tahun 2009, ketika saya bercanda dengan kolega tersebut, standarnya adalah Toyota Rush. Dan memang, dalam pengalaman “berkeliling” menjadi pengawas ujian nasional, lebih dari lima kepala sekolah yang saya temukan menggunakan jenis mobil ini.
Selain kedua “standar” ini, soal kualitas dan kuantitas rumah tentu saja menyesuaikan.
Yang membuat kita tak habis pikir, tentu saja, dari mana dan bagaimana seorang kepala sekolah harus menyesuaikan gaya dan pola hidup mereka dengan terkait pendapatan mereka yang sebenarnya tidak besar. Korupsi? Tuhan Yang Maha Tahu.
Tetapi, yang jelas, tuntutan untuk mendapatkan pendapatan sampingan, yang oleh sebagian mereka disebut “usaha mengembalikan modal” tentu akan menggerus pikiran dan kinerja dalam kapasitas sebagai pendidik dan pengelola pusat pendidikan.
Dan wawasan dan sikap ini sudah pasti diturunkan juga ke tingkat guru dan karyawan lain.
Tetapi bagaimana kita membuktikannya?
Seperti disarankan di awal, mari kita dengarkan percakapan para guru dan karyawan sekolah di kantin atau pos keamanan.
Jangan kaget, misalnya, jika salah seorang dari mereka berkata, “Alhamdulillah, sekarang sudah jadi diangkat pegawai negeri. Juga sudah ada pendapatan sampingan dari memberi les privat. Masa sulit (bekerja keras sebagai guru honorer) sudah lewat.”
Seorang teman guru yang sudah diangkat jadi pegawai negeri biasa sampai di sekolah pukul setengah tujuh, tepat ketika pembelajaran dimulai, dan sudah ada lagi di rumah pukul sepuluh atau sebelas siang. Dia akan kembali lagi ke sekolah pada saat harus absen kepulangan. Lalu siapa yang mengajar di kelasnya? Guru honorer, guru PPL, atau dititipkan ke kolega yang lain. Yang penting TST, Tahu Sama Tahu!
Dengan kinerja seperti ini, bagaimana anak-anak kita bisa dididik karakternya?
Salah satu pilihannya adalah “pendidikan menggunakan kekerasan” yang diadaptasi dari pola militer lama. Di setiap sekolah ada kegiatan yang disebut Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera), MOS (Masa Orientasi Siswa), dan sebagainya. Belum lagi, di hampir setiap sekolah dengan mudah ditemukan geng-geng siswa yang militan dalam kaderisasi dan penanaman nilai geng-nya.
Kegiatan-kegiatan ini, di atas kertas, disebut sebagai pendidikan kedisiplinan. Tetapi dalam praktiknya, ini merupakan cara mendisiplinkan siswa dalam pola senior-junior, pendidikan berbasis punishment dan bagaimanapun juga meringankan pekerjaan para guru. Di sini, dimana keterlibatan guru menjadi minimal (terutama karena alasan sibuk), memungkinkan terjadinya proses pewarisan kekerasan dari generasi ke generasi. Sedangkan guru atau kepala sekolah akan benar-benar sibuk hanya jika ada kasus yang sampai ke publik.
Meski demikian, banyak juga guru, yang entah bagaimana caranya, memiliki komitmen yang bagus. Sayangnya, nasib mereka sering bagai layangan tak bertali, mati gaya di tengah derasnya sikap permisif dan selfishness pejabat dan praktisi pendidikan. Padahal, jika boleh berharap, di pundak merekalah kita bisa percayakan bahwa sekolah-sekolah kita bukanlah “pusat pendidikan tawuran”.



Pendidikan Anak dan Mewaspadai Tayangan Media
Khairil Azhar

          Beberapa tahun yang lalu, kita menyaksikan dan mendengar betapa tayangan acara “Smack Down” menghasilkan beberapa korban anak-anak. Tak lama setelah itu, seri kartun Naruto, walau belum separah dampak acara”Smack Down”, juga menuai korban. Dan jika disigi lebih jauh lagi, tayangan beraroma kekerasan, dengan bumbu kegagahan dan patriotisme, kealotan otot dan ketegaran nyali, telah melahirkan korban yang tak sedikit sebenarnya.
Bahkan lebih mengenaskan dari sekadar cacat fisik, akibat yang bersifat psikis pada kenyataannya jauh lebih memprihatinkan. Bukanlah hal sepele misalnya jika sehari-hari kita menyaksikan betapa seorang anak lebih senang bertarung ala jagoan dengan bapaknya ketimbang mengobrol tentang keindahan bunga teratai atau musik tradisional suatu daerah. 
Begitu juga halnya, tak banyak anak yang mampu melipat kertas dan melahirkan karya origami yang bagus selancar dia merengek minta dibelikan mainan jadi. Sulit sekali ditemukan ada anak yang berpikir meramu kaleng bekas dan menghasilkan mobil-mobilan sendiri.
Meminta dan membeli oleh karena itu sudah menjadi budaya yang tak mudah diubah. Bagaimana jadinya ketika uang tak lagi cukup? Apakah mereka akan kita biarkan mencuri atau merampas milik orang lain?
Ada satu teori mengatakan betapa manusia amat mudah mengidap kesadaran yang salah tentang apa yang sebenanya dibutuhkannya. Dan itu adalah akibat dari betapa manusia teramat mudah dipengaruhi. Manusia gampang sekali dibuat seolah-olah telah berpikir benar dan mengambil keputusan benar, ketika pada kenyataannya pikiran dan keputusan itu tidaklah benar atau tidak sepenuhnya benar.
Dalam proses penanaman pengaruh ini manusia seolah melihat sesuatu itu logis, masuk akal, ketika pada kenyataannya ada ketergesaan sehingga menyingkirkan akal sehat.
Sebagai contoh, setiap hari sebagian kita menonton acara sinetron yang dalam bahasa Inggris disebut dengan bernuansa negatif sebagai soap opera atau opera sabun. Bagi kalangan tertentu, terutama ibu-ibu atau anak dan remaja putri, biasa sekali terjadi tanpa pikir panjang menganggap semua yang diketengahkan dalam acara-acara itu layak dan selanjutnya ditiru.
Ada juga tayangan yang menakutkan atau menakut-nakuti atas nama agama, dan itu dianggap sebagai ajaran agama itu sendiri. Hal ini umpamanya kita lihat dalam berbagai acara yang berjuluk ”reality show” atau film dan sinetron horor yang dibuat-buat. Padahal, pikiran mereka yang terpengaruh itu telah menjadi tidak sadar akan ajaran agama yang sesungguhnya. Bahkan dalam konteks ajaran Islam umpamanya, seseorang yang mempercayai hal itu bisa jatuh ke dalam perbuatan syirik. 
Media massa, oleh karena itu mestilah tetap dipandang sebagai instrumen komunikasi, yang pada dasarnya berlaku sebagai penyampai gagasan, pesan dan hiburan. Namun di saat yang sama kita harus waspada bahwa media massa juga bisa menjadi instrumen ekonomi atau mesin uang dimana tentu saja akan berorientasi pada keuntungan dan menghindari kerugian.
Dan jika seperti ini, isu-isu moral, kultural atau agama sekalipun akan menjadi komoditas yang diperjual-belikan. Oleh karena itu kita harus peka dan berusaha menghindarinya. Katakanlah bahwa kita memberinya semacam hukuman publik dengan tidak mengaksesnya.
Mengenai betapa perlunya kita secara aktif memilihkan tontonan atau bacaan yang tepat buat putra-putra kita, ada sebuah cerita menarik dari seorang sineas terkemuka Indonesia saat ini.
Di sebuah media massa, Garin Nugroho, salah satu sutradara  kondang Indonesia, pernah mengutip tentang percakapan yang terjadi antara seorang ayah dan anaknya. Sang ayah, seorang sutradara juga dan menjadi teman Garin Nugroho, konon meminta anaknya untuk tidak menonton acara televisi tertentu, meskipun acara itu merupakan karya ayahnya sendiri.
Si anak tentu saja penasaran. Kenapa? Bukankah semestinya sang ayah bangga jika anaknya mengagumi karyanya? Apalagi jika sang anak kemudian mengajak teman-eman atau tetangganya untk menonton juga, bukankah itu akan lebih menguntungkan bagi ayahnya?
Ayah ini, di luar kepentingannya akan keuntungan bisnis, ternyata memiliki kesadaran yang bagus tentang masa depan anaknya sendiri. Dia tahu, betapa acara-acara tertentu, meskipun tak tertutup kemungkinan dia ikut membuatnya, tak pantas atau tak layak ditonton oleh anaknya.
Itu berarti, sang ayah, meskipun sayangnya dia mencari uang dengan membuat sinetron atau film yang kenyataannya tidak mendidik masih memiliki akal sehat. Bahkan secara sadar dia kemudian menggunakannya dengan mengingatkan orang-orang di dekatnya supaya bersikap selektif dalam memilih tayangan telivisi.
Ayah ini katakanlah dengan cerdas mampu mendidik anaknya dengan menerapkan prinsip yang sudah mulai luntur di tengah budaya konsumtif kita, bahwa  emas itu haruslah dibedakan dari loyang, bahwa tak semua yang menarik itu pantas dikonsumsi oleh anaknya.
Bagaimana dengan kita?
Sebuah hadis Rasulullah yang sudah menjadi adagium umum menyatakan “Manusia itu, siapapun dia, tak luput dari kesalahan dan kealpaan.” Kesadaran kita memang sulit untuk selalu konsisten. Hati kita amat mudah terbolak-balik.
Namun demikian, setidaknya jika kita bisa selalu berlatih menggunakan akal sehat, terutama ketika kita hendak mengambil keputusan yang berkaian dengan masa depan anak-anak kita, haruslah ada proses pendidikan terus-menerus di rumah tangga kita yang mengajarkan bahwa tidak semua yang menarik atau populer itu baik.
Harus ada kesadaran bahwa adakalanya sebuah tontonan justru membuat kita, anak atau isteri menjadi berprilaku negatif. Mungkin saja karena selalu menyaksikan betapa para aktris atau aktor baik dalam film, sinetron atau infotainment tampaknya hidup sangat enak dan mudah lalu meniru perilaku mereka dan menjadi malas. Padahal pada kenyataannya hidup ini akan lebih indah dan nikmat jika diisi dengan kerja keras dan tantangan perjuangan dengan cara kita masing-masing.

Tuesday, June 19, 2012

Internet dan Pembelajaran (Bagian 2)
Oleh Khairil Azhar

Internet dan Digital Learners
                Terkait dengan pemanfaatan internet untuk pembelajaran, kita menggunakan istilah digital learners untuk mengacu pada tipe ideal siswa yang betul-betul memanfaatkan internet untuk belajar. 

               J.S. Brown (2009) seperti pada skema di atas pertama-tama menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran dari konsep pembelajaran yang semata-mata demi kemampuan untuk memahami teks (text-literacy) menjadi pembelajaran untuk memahami teks beserta image dalam bentuk screen language (tampilan-tampilan yang muncul di layar komputer) dan pada akhirnya melakukan navigasi informasi. Pada gilirannya, digital learners juga tidak hanya harus mampu memahami secara pasif tetapi juga mesti memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri dalam images (baik yang diam maupun yang bergerak), suara, dan media lainnya.
                Dimensi kedua yang mesti disikapi adalah pergeseran pembelajaran berbasis otoritas menjadi pembelajaran yang berbasis penemuan (discovery) dan pengalaman (experiential). Para siswa yang masuk dalam kategori digital learners sudah terbiasa dengan penemuan hal-hal baru ketika mereka melakukan browsing di situs-situs internet. Dalam pada itu, kegiatan ber-internet mereka, selain sebagai proses belajar hal-hal baru, juga sekaligus memiliki hiburan (entertainment) yang menyenangkan dan menantang. Bandingkan lagi umpamanya dengan proses belajar teacher-centered di dalam kelas yang pasif dan “bikin” ngantuk.
                Dimensi ketiga terkait dengan penalaran (reasoning) yang dalam pembelajaran konvensional cenderung bersifat deduktif atau linear (satu arah) yang bergeser ke arah apa yang disebut sebagai penalaran yang lateral (bercabang) dan bricolege, berbagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menemukan sesuatu (seperti tool, kode open source, gambar, music, atau teks) yang bisa digunakan untuk membuat sesuatu yang baru. Dengan sendirinya, digital learners terbiasa untuk kreatif dan tidak percaya begitu saja dengan ide tertentu yang dikemukakan guru. Mereka cenderung atau malah terbiasa untuk mencari alternatif.
                Dimensi keempat, kata Brown, jika sebelumnya dalam sistem konvensional siswa-tidak- tahu cenderung takut untuk mencoba, digital learners sebaliknya berani mencoba sesuatu tanpa membaca manual atau mengikuti kursus tertentu. Belajar bagi mereka langsung dengan adanya tindakan yang juga langsung di tempat yang sama (in situ), yakni di internet. Belajar itu berupa tindakan kongkrit dan tidak abstrak dalam bentuk penilaian dan eksplorasi. 
                Sedangkan perbandingan antara gaya belajar digital learners dengan para guru konvensional secara lebih detil dapat dilihat sebagai berikut:

 
 Gambar 5: Perbandingan Gaya Belajar dengan Gaya Mengajar Guru Konvensional
(Sumber: www.21stcenturyfluency.com)

Terkait dengan penyesuaian strategi mengajar guru dengan gaya belajar siswa, penggunaan media internet, yang termasuk dalam electronic media, dapat dilihat dalam table berikutnya. Dalam table ini secara rinci dibuat perbandingan antara gaya belajar yang paling umum dikenal dalam dunia pendidikan dengan berbagai jenis media pembelajaran elektronik yang juga sudah biasa digunakan bahkan di kelas-kelas di Indonesia.
 
 Gambar 6: Gaya Mengajar dan Gaya Belajar Terkait Media Elektronik
(Sumber: A.L. Franzoni & Said Assar, 2009)

Internet dan E-Learning
Berdasarkan berbagai definisi tentang e-learning, secara sederhana e-learning bisa diartikan sebagai: (1) pembelajaran dengan menggunakan internet sebagai media untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi atau bimbingan: (2) pendidikan jarak jauh yang dilakukan melalui internet; (3) menggunakan internet sebagai sumber data dan informasi dalam pembelajaran; dan (4) internet sebagai media pembelajaran dan untuk belajar.
  Terkait dengan poin pertama dan kedua, peran internet lebih sebagai media yang pasif, semata-mata alat yang menghubungkan seorang pengajar dengan muridnya untuk mengajar dan belajar. Dengan kata lain, seorang guru mengajar seperti halnya dia mengajar di kelas konvensional, dengan pola linear teacher-student ditambah dengan modul atau buku yang sudah disiapkan sebelumnya. Dalam hal ini, unsur inovasi hanya terkait dengan dimungkinkannya belajar meskipun adanya jarak yang jauh.
Poin ketiga pada dasarnya lebih kreatif. Internet dengan situs-situsnya yang sangat beragam dan kaya data informasi digunakan sebagai sumber untuk pembelajaran. Guru dan siswa secara langsung menggunakan internet untuk mencari data dan informasi yang dibutuhkan untuk membangun pengetahuan sesuai dengan subyek yang tengah dipelajari.

 
 Gambar 7: Pembelajaran Satu Arah Dengan Internet

Sedangkan poin keempat merupakan pemanfaatan internet sebagai media pembelajaran pada tingkat yang paling aktif. Dalam konsep yang paling terkini, hal ini disebut sebagai participatory learning yang diartikan sebagai model pembelajaran yang mencakup berbagai cara yang digunakan para siswa dengan adanya teknologi baru untuk berpartisipasi dalam berbagai komunitas virtual di mana mereka berbagi gagasan, berkomentar tentang proyek mereka satu sama lain, merencanakan, mendesain, mengimplementasikan, mengembangkan atau sekadar mendiskusikan latihan, tujuan dan gagasan mereka secara bersama-sama (C.N. Davidson & David Theo Goldberg, 2009).
Dalam bahasa yang lebih umum, pembelajaran ini disebut juga sebagai online learning, yakni dengan memanfaatkan teknologi internet untuk bekerjasama (cooperation), bekerja bersama-sama seperti dengan membuat proyek (collaboration), dan berkomunikasi (Patrick J. Fahy, 2008).
Kerjasama, kolaborasi dan komunikasi antar siswa ini juga tidak hanya antara siswa dalam satu sekolah tetapi juga kolaborasi antara siswa dari berbagai belahan dunia yang boleh jadi tidak saling kenal secara langsung. Mereka dipertemukan oleh persamaan-persamaan sehingga kolaborasi dalam satu proyek, misalnya, bisa dilakukan. Hal ini sama mudahnya dipahami seperti kita chatting dengan orang yang tidak pernah kita kenal tetapi berkomunikasi via email, Facebook atau media lainnya.
 
 Gambar 8: Pembelajaran Internet untuk Pembelajaran Kolaboratif

Bagi guru, tentu saja, participatory learning juga berarti kesempatan untuk memanfaatkan internet sebagai media untuk aktualisasi dan pengembangan diri, tidak hanya dalam rangka memudahkan pekerjaan semata.
Dalam konsep terbaru yang dikembangkan Dekominfo, konsep semacam participatory learning ini dirancang tidak hanya antar siswa tetapi juga dengan berbagai komunitas yang terkait dengan kependidikan seperti terlihat dalam gambar berikut. 

 
 Gambar 9: Pembelajaran dengan “Jaringan Pintar” Internet
               
Secara lebih detil, penggunaan internet sebagai media pembelajaran meliputi kompetensi:
 
 
Jika kita mengakses situs yang memberikan fasilitas e-learning terdapat beberapa fitur yang langsung bisa digunakan:
1.       Informasi tentang unit-unit terkait dalam proses belajar mengajar, seperti tujuan dan sasaran pembelajaran, silabus, metode pengajaran, jadwal, tugas, jadwal ujian, daftar referensi atau bahan bacaan, serta profil dan kontak pengajar.
2.       Akses ke sumber referensi seperti modul, catatan, bahan presentasi, contoh ujian, FAQ, sumber referensi, situs terkait, atau artikel online. 
3.       Komunikasi kelas seperti forum diskusi online, mailing-list peserta diskusi, informasi perubahan jadwal, tugas dan sebagainya.
4.       Sarana untuk kerja kelompok seperti sharing file dan direktori serta sarana untuk diskusi dalam mengerjakan tugas kelompok.
5.       Sistem ujian online dan pengumpulan feedback.

Kesimpulan: Kelebihan dan Kekurangan Internet dalam E-learning
                Secara umum, manfaat atau keunggulan internet dalam e-learning dalam konteks Indonesia (karena perkembangan penggunaan media internet untuk pembelajaran tidak se-massif seperti yang dilakukan di Negara-negara maju) adalah:
1.       Dengan dimungkinkannya e-moderating, seperti dalam distance learning, guru dan siswa dapat berkomunikasi secara langsung meski dibatasi jarak. 
2.       Penjadwalan, strukturisasi pembelajaran, bahan ajar dan sebagainya lebih mudah dilakukan karena fungsi multimedia dari internet.
3.       Komputer memudahkan penyimpanan materi pembelajaran dan lainnya serta computer yang handy seperti laptop mudah dibawa.
4.       Akses internet memudahkan guru dan siswa untuk pengayaan bahan pelajaran, menggali informasi lebih dalam dan sebagainya.
5.       Sepetrti distance learning, pembelajaran melalui internet dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak.
6.       Guru atau siswa yang terlibat dalam pembelajaran menggunakan internet menjadi aktif, terutama terkait dengan penggunaannya sebagai media komunikasi dan sumber informasi.
7.       Internet memungkinkan efisiensi, tidak saja terkait biaya tetapi juga waktu dan tenaga. 
8.       Terkait dengan participatory learning, internet memungkinkan kolaborasi yang relatif tidak terbatas dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan kependidikan.

Namun demikian, pembelajaran menggunakan media internet seperti dalam e-learning memiliki beberapa kelemahan:
1.       Jika dibanding dengan pembelajaran konvensional, kedalaman dan intensitas interaksi antara guru dan siswa atau antar siswa dalam e-learning lebih kurang.
2.       Intensitas penggunaan internet memungkinkan adanya efek bagi siswa, umpamanya, untuk mengabaikan nilai-nilai akademik atau sosial.
3.       Karena sifat pembelajaran yang cenderung mekanis, proses pendidikan terkait dengan living values atau karakter lebih mudah terabaikan.
4.       Guru-guru dituntut untuk belajar tentang berbagai hal yang terkait dengan pembelajaran berbasis ICT, di mana dalam banyak kesempatan ini tidak mudah.
5.       Siswa dengan motivasi belajar yang rendah cenderung gagal.
6.       Dalam konteks Indonesia, keterbatasan fasilitas internet dan sarana pendukungnya masih menjadi kendala secara luas.  

Referensi
Davidson, C.N. & D.T. Goldberg, The Future of Learning Institutions in a Digital Age, Massachusetts: MIT, 2009
Fahy, Patrick J., “Characteristics of Interactive Online Learning Media”, dalam Theory and Practice of Online Learning, Edmonton (Canada): AU Press, 2008
Franzoni, A.L. & Assar, S., “Student Learning Style Adaptation Method based on Teaching Strategies and Electronic Media”, dalam Educational Technology & Society, 12 (4), p. 15-29
J.S. Brown, “Learning in the Digital Age”, dalam The Internet and the University, Forum for the Future of Higher Education and EDUCAUSE, 2002
Shah, Nishant &Fieke Jansen, Digital Alter-Natives, The Hague: Hivos, 2011

Internet
ardyprasetyo.wordpress.com
images.arrohwany.multiply.multiplycontent.com